Lima Tangkapan Kelas Kakap dan Menyita Perhatian Masyarakat Sepanjang Tahun 2020

2 Januari 2021, 07:14 WIB
Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara tiba untuk menjalani pemeriksaan perdana di gedung KPK, Jakarta, Rabu (23/12/2020). Penangkapan Juliari menjadi salah satu tangkapan koruptor kakap oleh KPK /ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

JIRNAal SOREANG- Tahun 2020 sudah berakhir dan kini sudah berganti kalenser ke tahun 2021. Namun, tidak salah apabila kita menengok ke belakang. Sepanjang tahun 2020 saat kinerja penegakan hukum  memiliki prestasi pengungkapan kasus kelas kakap.

Kasus-kasus itu mendapat banyak perhatian masyarakat, khususnya dalam tindak pidana korupsi. Sejumlah koruptor kakap yang ditangkap di tahun 2020 bisa dibilang cukup bersejarah, karena belasan tahun tidak pernah berhasil diusut aparat penegak hukum pada pemerintahan sebelumnya.

Sementara yang lainnya merupakan koruptor tangkapan besar, karena menjadi petinggi pada tingkat Kementerian/Lembaga di Republik ini. Berikut lima kasus tangkapan koruptor kelas kekap yang dikutip dari ANTARA, Sabtu, 1 Januari 2021.

Baca Juga: KPK Geledah Rumah Dinas Edhy Prabowo, Temukan Uang 4 Milyar

1. Penangkapan Maria Pauline Lumowa sebagai  buronan pembobol Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang terjadi dalam rentang Oktober 2002 hingga Juli 2003, senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro.

Maria melarikan diri sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Buronan itu kabur ke 'Negeri Kincir Angin' Belanda selama 17 tahun atau tepatnya pada September 2003.

Pemerintah Indonesia kesulitan mengekstradisi Maria Pauline Lumowa karena wanita itu juga memiliki kewarganegaraan Belanda.

Baca Juga: Kemensos Akan Salurkan Bansos 2021, KPK Minta Risma Bangun Koordinasi

Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014.

Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh pemerintah Kerajaan Belanda yang memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.

Sudah menjadi buronan selama 17 tahun, Maria akhirnya berhasil diekstradisi dari Serbia oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada 8 Juli 2020.

Baca Juga: Masa Tahanan untuk Para Tersangka Kasus Bansos Covid-19 Diperpanjang KPK

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, yang memimpin ekstradisi Maria Pauline Lumowa, menyebutkan bahwa ada upaya suap yang dilakukan agar pembobol kas Bank BNI senilai Rp1,2 triliun itu tidak diekstradisi.

Tapi upaya suap itu tidak terwujud berkat diplomasi hukum tingkat tinggi yang dijalankan pemerintah Indonesia, serta komitmen tegas pemerintah Serbia untuk membantu mengekstradisi Maria ke Indonesia. Rencanany awal Januari, Maria akan segera menghadapi sidang pengadilannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ancaman pidana yang dikenakan maksimal kurungan seumur hidup.

2. Penangkapan Djoko TjandraTjandr sebagai  buronan kasus korupsi cessie Bank Bali yang buron selama 11 tahun.Djoko Tjandra atau Tjan Kok Hui akhirnya ditangkap oleh personel Polri yang dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol Listyo Sigit pada 30 Juli 2020, dengan dibantu Polisi Diraja Malaysia.

Baca Juga: Pedagang Obat Kuat Meninggal Karena Diancam Pakai Pisau. Gara-gara Dituduh Obat kuat Tidak 'Jreng'

Kabareskrim kemudian membawa pulang Djoko ke Indonesia untuk diadili terkait kasus pengalihan hak tagih (cessie) antara PT Era Giat Prima (EGP) miliknya dengan Bank Bali pada Januari 1999.​​​​​​​

Djoko Tjandra sudah berstatus terpidana sebelum buron selama 11 tahun, berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung pada 11 Juni 2009 dan dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun dan denda Rp15 juta subsider 3 bulan.

Selain itu, MA memerintahkan barang bukti berupa uang yang ada dalam rekening penampung atas nama rekening Bank Bali sejumlah Rp546,468 miliar juga dirampas untuk dikembalikan ke negara.

Baca Juga: Suaminya Berurusan dengan KPK, Istri Mensos Juliari: Enakan Balik Aja Lagi Jadi Istri Pengusaha

Namun, ia kadung melarikan diri sebelum menjalani hukuman atau tepatnya 10 Juni 2009 ke Papua Nugini, menggunakan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Sejak 11 Juni 2009, Kejaksaan Agung menetapkan status buron untuk Djoko Tjandra dan ia pun masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Direktorat Jenderal Imigrasi dan daftar red notice Interpol.

Namun anehnya, setelah masuk red notice, Djoko Tjandra masih bisa datang ke Indonesia pada 8 Juni 2020 dan terlibat kasus pidana lagi, kali ini terkait pembuatan surat jalan palsu dan dugaan penghapusan red notice Interpol.

Baca Juga: Kabar Gembira. Pemerintah Gratiskan SIM bagi Warga Tak Mampu, Mahasiswa, Pelajar, dan Usaha Kecil

Kasus itu terungkap pertama kali ke publik melalui penuturan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada rapat di Komisi III DPR RI. Jaksa Agung heran mengapa kedatangan Djoko bisa melewati pintu Imigrasi, sedangkan statusnya masih buronan.

Djoko ternyata melibatkan pengacara Anita Dewi Anggraeni Kolopaking untuk mengurus surat jalan palsu kepada mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Sedangkan terkait red noticeDjoko melibatkan pengusaha Tommy Sumardi sebagai perantara suap kepada Brigjen Pol Prasetijo Utomo dan eks Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte agar menghapus namanya dari daftar red notice Interpol.

Dalam kasus pemalsuan surat jalan, Brigjen Pol Prasetijo Utomo terbukti bersalah bahkan memerintahkan bawahannya untuk menghilangkan barang bukti surat-surat tersebut dengan cara membakar. Ia pun divonis oleh majelis hakim tiga tahun penjara.

Baca Juga: Hebring, Petugas Keamanan Ini Terima Hadiah Rp 100 Juta Lalu Diserahkan ke KPK

Dengan surat jalan tersebut, Djoko Tjandra berhasil kabur lagi ke Pontianak, lalu terbang dengan pesawat pribadi ke Malaysia sebelum ditangkap oleh Polisi Diraja Malaysia.

Djoko Tjandra pun divonis lagi dengan hukuman dua tahun enam bulan penjara dalam perkara surat jalan tersebut, sedangkan Anita Kolopaking dipidana 2 tahun 6 bulan penjara karena terbukti ikut terlibat.

Dalam kasus penghapusan red notice, pengusaha Tommy Sumardi divonis 2 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta dan subsider enam bulan kurungan, karena mengaku membantu Djoko Tjandra memberikan suap kepada dua perwira tinggi Polri yaitu Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo.

Baca Juga: Dikeroyok Sejumlah Pemuda Satu Anggota TNI Meninggal Dunia Akibat Ditusuk Sajam

Vonis hakim lebih berat lima bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, kendati Tommy sudah mendeklarasikan diri sebagai pembantu penegak hukum mengungkap fakta di pengadilan (justice collaborator).

Selain nama-nama di atas, kasus Djoko Tjandra juga menyeret nama Jaksa Pinangki Sirna Malasari dan pengusaha periklanan Andi Irfan Jaya yang diduga membuat rencana aksi (action plan) untuk permintaan fatwa bebas Djoko Tjandra dalam Peninjauan Kembali (PK) kasus cessie Bank Bali dari Mahkamah Agung.

Namun, sidang masih terus berlanjut pada Senin 4 Januari 2021, dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi) terdakwa Andi Irfan Jaya.

Baca Juga: Warga Kaget dan Tidak Menyangka Pengunggah video Parodi Lagu Indonesia Raya Anak SMP

3. Penangkapan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Ekspor benih bening lobster (benur) menyeret nama Edhy Prabowo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, dalam kasus korupsi suap izin pengadaan perizinan tambak, usaha dan/atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 yang diperiksa oleh KPK.

Edhy pun ditangkap pada Rabu, 25 November 2020,  dinihari, sekitar jam 01.23 WIB di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang Selatan,  usai pulang dari perjalanan dinas ​​​​​​​dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.

Edhy menjadi tersangka penerima suap dari Direktur PT DPP Suharjito (SJT) bersama lima orang lainnya, yaitu Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Safri (SAF), pengurus PT ACK Siswadi (SWD), staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih (AF), Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Andreau Pribadi Misata (APM) dan Sekretaris Pribadi Menteri Kelautan dan Perikanan Amiril Mukminin (AM).

Baca Juga: Begini Kesaksian Ngabalin Kala Proses OTT Menteri KKP Edhy Prabowo Di Bandara Soetta

KPK menduga Edhy dkk menerima total Rp9,8 miliar dan 100 ribu dolar AS dalam kasus tersebut. Barang bukti lainnya yang bernilai sekitar Rp 750 juta ikut disita KPK dari Edhy Prabowo, di antaranya jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy.

Edhy mengakui kesalahannya itu dan telah meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto serta masyarakat Indonesia karena tindakannya itu.Bahkan Edhy mengajukan pengunduran dirinya sebagai menteri KP dan wakil ketua umum Partai Gerindra.

Tugasnya pun kini telah diteruskan oleh Sakti Wahyu Trenggono, mantan Wakil Menteri Pertahanan di era Kabinet Indonesia Maju.

Baca Juga: Kabar Gembira. Pemerintah Gratiskan SIM bagi Warga Tak Mampu, Mahasiswa, Pelajar, dan Usaha Kecil

Edhy menjadi menteri ketiga yang terlibat kasus korupsi di era Presiden Joko Widodo setelah Menteri Sosial pada Kabinet Kerja (Joko Widodo-JK) Idrus Marham serta Menteri Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Kerja Imam Nahrawi.

4. Penangkapan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara  yang tersangkut kasus dugaan suap bantuan sosial Covid-19. Setelah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) atas pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial dan swasta, KPK  pada 6 Desember 2020 dinihari juga menetapkan Juliari sebagai tersangka korupsi bansos Covid-19.

KPK menduga Mensos menerima suap senilai Rp17 miliar dari "fee" pengadaan bantuan sosial sembako untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Jabodetabek.

Baca Juga: Jadwal Acara TV: Indosiar Sabtu Januari 2021, Konser Happy New Year Indonesia 2021 Tayang Lagi

Empat orang lainnya juga menjadi tersangka yakni Matheus Joko Santoso (pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial), Adi Wahyono (pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial), Ardian IM (swasta) dan Harry Sidabuke (swasta).

Ardian dan Harry menjadi tersangka pemberi suap, sedangkan Juliari, Matheus dan Adi menjadi penerima suap.Penetapan Juliari sebagai tersangka oleh KPK hanya berselang sembilan hari dari penetapan Edhy Prabowo, mantan Menteri KKP sebagai tersangka oleh KPK.

Tugas Mensos kini telah diteruskan oleh Tri Rismaharini, mantan Wali Kota Surabaya.

5. Penangkapan mantan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Wahyu Setiawan oleh KPK melalui OTT pada Rabu 8 Januari 2020. Selain Wahyu, KPK juga telah menetapkan tiga tersangka lainnya, yakni mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF), Saeful (SAE) dari unsur swasta sebagai perantara, dan politisi PDI Perjuangan Harun Masiku (HAR) sebagai pemberi suap.

Baca Juga: Puluhan Pegawai dan Staf KPU Kota Samarinda Positif Covid-19, DInkes: Bukan Klaster Pilkada

Diketahui, Wahyu meminta dana operasional Rp 900 juta untuk membantu Harun sebagai anggota DPR RI pengganti antar waktu (PAW) dari Nazaruddin Kiemas ​​​​​​​yang meninggal dunia.

Padahal ​​​​​​​dalam rapat pleno KPU RI pada 31 Agustus 2019 silam, semua anggota sepakat mengajukan Politikus PDI-P Riezky Aprilia sebagai anggota PAW DPR RI Nazaruddin Kiemas karena Riezky memiliki jumlah suara terbanyak berikutnya setelah almarhum Nazaruddin.

Namun, Saeful Bahri yang diklaim sebagai pihak swasta oleh KPK, kemudian menghubungi Agustiani Tio Fridelina (ATF), orang kepercayaan Wahyu yang juga mantan caleg PDI-P untuk melakukan lobi agar Wahyu mengabulkan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI pengganti antar-waktu.

Baca Juga: Diboyong KPK Bersama Wali Kota Cimahi, Ini yang Diceritakan Kepala DPMPTSP pada Penyidik

Selanjutnya, ATF mengirimkan dokumen dan fatwa Mahkamah Agung yang didapat dari SAE kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun. Saeful memberikan uang Rp150 juta pada advokat DON. Sisanya Rp700 juta yang masih di SAE dibagi menjadi Rp 450 juta pada ATF, Rp 250 juta untuk operasional.

Dari Rp 450 juta yang diterima ATF, kata Lili, sejumlah Rp 400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu, namun uang tersebut masih disimpan oleh Agustiani.

Pada Selasa, 7 Januari 2020,  berdasarkan hasil rapat pleno, lanjut dia, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal.

Baca Juga: 4 Transfer Terbaik di Liga Eropa 2020: Ibrahimovic Erling Haaland, Luis Suarez, Bruno Fernandez

Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi DON dan menyampaikan telah menerima uangnya dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.

Pada Rabu (8 Januari), ujar Lili, Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh ATF. Tim KPK menemukan dan mengamankan barang bukti uang RP400 juta yang berada di tangan ATF dalam bentuk 19 ribu dolar Singapura.

Kasus itu banyak menyita perhatian karena Harun Masiku ternyata sudah melintas kembali ke Jakarta pada 7 Januari 2020, usai sebelumnya dinyatakan kabur menuju Singapura pada hari Senin, 6 Januari 2020,  melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang sekitar pukul 11.00 WIB.

Baca Juga: Enam Manfaat Nanas bagi Kesehatan. Untuk Tulang, Pencernaan sampai Pilek dan Sinus

​​​​​​​Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020, Harun Masiku hingga saat ini belum ditemukan dan sudah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buron.***

Editor: Sarnapi

Sumber: Antam

Tags

Terkini

Terpopuler