"Sehingga dapat memudahkan pelaku untuk mengakses perangkat pelaku secara illegal. Contohnya, pembuatan domain seolah-olah mirip dengan asal institusi dari yang aslinya. Pelaku akan menaruh atau memasang malware supaya nantinya bisa mengaksesnya secara illegal," sambung Dirjen Semuel.
Kasus seperti ini banyak terjadi, contohnya ada pada kasus nomor WhatsApp disadap atau diambil alih karena ponsel sudah dipasangkan malware oleh pelaku yang menyebabkan data-data pribadi korban dicuri.
Mengenai modus ketiga, Dirjen Semuel menyebutnya sniffing. Dengan modus itu, pelaku akan meretas untuk mengumpulkan informasi secara illegal lewat jaringan yang ada pada perangkat korbannya, dan mengakses aplikasi yang menyimpan data penting pengguna.
Sniffing ini paling banyak terjadi ketika sedang menggunakan atau mengakses wifi umum yang ada di publik, apalagi digunakannya untuk bertansaksi.
"Ini bahaya, karena sniffing itu kan biasanya terjadi di jaringan yang umum diakses publik. Di situlah pelaku memanfatkannya," bebernya.
Modus keempat, yakni money mule. Dirjen Semuel menjelaskan, penipuan jenis ini terjadi ketika ada oknum yang meminta korbannya untuk menerima sejumlah uang ke rekening korban, dimana nantinya uang tersebut harus ditransfer ke rekening orang lain.
"Kalau di luar negeri mereka berani kliring cek. Kita dapat cek, tapi begitu kita periksa ternyata cek itu bodong. Begitu kita masukkan, kan kalau di sana prosesnya masuk itu muncul dulu di rekening kita. kalau ternyata tidak clearing, dipotong. Lalu, jika sudah digunakan harus dikembalikan," urainya.
Sementara di Indonesia sendiri, lanjut Dirjen Semuel, biasanya pelaku akan meminta calon korban untuk pembayaran pajaknya dikirim terlebih dahulu.