"Tapi pada saat ini ketika kita hidup pada abad ke-21 tindakan seperti itu seharusnya tidak ada lagi," tambahnya.
Menurutnya, pascarevolusi industri 4.0 dan memasuki masyarakat 5.0 salah satu sikap yang diperlukan adalah adanya sikap toleransi, saling menghargai, sikap kebhinnekaan, sikap saling menerima perbedaan antara satu dengan yang lain. Baik dalam hal agama dan kepercayaan suku, ras, budaya ataupun antar golongan.
"Jika terjadi pembakaran kitab suci baik Alquran, Injil dan kitab suci lainnya, itu berarti masih memanfaatkan sentimen keagamaan untuk membangun kebencian dan membangun antipati kepada kelompok yang lain," ungkapnya.
Fenomena di Eropa itu, kata Singgih sangat membahayakan proses konstruksi masyarakat 5.0 atau masyarakat pascarevolusi di era industri 4.0.
"Saya kira di era saat ini jangan sampai masalah-masalah kepercayaan atau agama dan identitas itu dijadikan sebagai alat untuk membangkitkan kebencian, sehingga memicu konflik kekerasan sosial yang terjadi di tengah masyarakat," papar Singgih.
Ia juga mengingatkan, pembakaran kitab suci yang terjadi pada era keterbukaan informasi, dapat memicu konflik dan kekerasan.
Bahkan, bisa berimbas pada pembunuhan secara masal yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradaban manusia.
"Agama seharusnya lebih diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari baik secara pribadi maupun secara universal," tegasnya.