JURNAL SOREANG - Setidaknya 24 bank sentral di negara berkembang dan maju diharapkan memiliki mata uang digital yang beredar pada akhir dekade ini, menurut survei Bank for International Settlements (BIS) yang diterbitkan, 10 Juli 2023..
Proses mempelajari dan mengelola mata uang digital untuk penggunaan ritel telah diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia untuk menghindarinya diserahkan ke sektor swasta ketika penggunaan uang tunai berkurang.
Bahkan, beberapa bank sentral juga menjajaki peluang penggunaan massal untuk transaksi antar lembaga keuangan.
Baca Juga: Konflik! Pejuang Palestina yang Menembaki Tentara Israel Tewas Dibunuh Rezim Zionis
Sebagian besar Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC) baru akan muncul di ruang ritel dengan 11 bank sentral dapat bergabung dengan mitra mereka di Bahama, Karibia Timur, Jamaika, dan Nigeria.
Negara tersebut teridentifikasi sudah melakukan transaksi mata uang digital secara langsung melalui hasil survei BIS yang dilakukan terhadap 86 bank sentral pada akhir tahun 2022.
BIS mengatakan, sembilan bank sentral dapat meluncurkan CBDC, selain sektor grosir di masa depan diharapkan memungkinkan lembaga keuangan untuk mengakses fungsi baru yaitu tokenisasi.
Tokenisasi adalah proses penggunaan data sensitif, seperti nomor kartu kredit, untuk menggantinya dengan nilai pengganti yang dikenal sebagai token.
"Meningkatkan pembayaran lintas batas adalah salah satu pendorong utama langkah bank sentral pada CBDC massal," kata laporan itu.
BIS menjelaskan bahwa pangsa bank sentral dalam survei yang melibatkan beberapa bentuk CBDC mencatat peningkatan menjadi 93 persen dengan 60 persen menjelaskan munculnya stablecoin dan aset kripto lainnya yang mempercepat proses tersebut.
Pasar crypto telah mengalami gejolak selama 18 bulan terakhir, termasuk kegagalan TerraUSD, stablecoin pada Mei 2022, selain jatuhnya FTX crypto November lalu, serta kebangkrutan bank seperti Silicon Valley Bank dan Signature Bank yang menawarkan layanan penyedia kripto.
Situasi tersebut menyebabkan aksi jual berbagai aset kripto, meskipun perkembangannya tidak berdampak besar pada pasar keuangan konvensional.
Baca Juga: Meski Masih Libur Sekolah, tapi MI dan SMP di Kabupaten Bandung Mulai Persiapan Tahun Ajaran Baru
Survei yang sama juga menemukan bahwa hampir 40 persen responden menyatakan bahwa bank sentral atau lembaga lain di yurisdiksinya baru-baru ini melakukan studi tentang penggunaan stablecoin dan aset kripto lainnya di kalangan konsumen atau bisnis.
"Aset kripto termasuk stablecoin dapat menimbulkan ancaman terhadap stabilitas keuangan, jika digunakan secara luas untuk transaksi pembayaran," kata laporan BIS.***