Network
JURNAL SOREANG- Kebergantungan anak muda pada gadget (gawai) dan aktivitasnya di media sosial agak memprihatinkan.
Hasil penelitian Chaffey pada 2019 mencatat kelompok usia 12-15 tahun menghabiskan rata-rata 20,5 jam online, dan 69% dari kelompok ini aktif menggunakan media sosial.
Tidak heran, jika kelompok ini menjadi segmen penduduk yang paling rentan terhadap kejahatan siber dan pelanggaran privasi. Untuk keluar dari jebakan dunia digital harus diciptakan budaya baru mau keluar dari tekanan ketergesaan dan dilema.
Baca Juga: Hoaks Corona Ternyata Bukan Hanya Ganggu Tenaga Kesehatan, tapi Juga Media Massa
Semua pihak harus mengambil tanggung jawab agar ruang komunikasi di media sosial tidak terlalu pekat dengan polutan.
“Oleh karena itu, lakukan upaya $-M agar dapat menyelami media sosial dan dunia digital secara positif yakni Mengerem telunjuk, Mengonfirmasi fakta, dan barulah Meneruskan pesan. Intinya, jangan tergesa merespons konten media sosial sebelum mengonfirmasi fakta, jika tidak ingin terjebak kubangan racun yang disangka madu,” kata pakar Komunikasi Politik dan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Karim Suryadi, saat memberikan orasi ilmiah di hadapan 10.000 mahasiswa baru UPI pada Masa Orientasi Kampus dan Kuliah Umum (Mokaku) UPI Tahun 2021, Kamis 26 Agustus 2021.
Orasi tersebut juga disiarkan di kanal youtube Karim Suryadi Channel dan dapat dilihat sejak Minggu 29 Agustus 2021.
Baca Juga: Dari.Workshop Literasi Digital Remaja Masjid, Ini Cara Membedakan Fakta dan Hoaks
Karim menambahkan, kekhawatiran kian bertambah mengingat karakter unik netizen di tanah air. Mereka ramah, hangat, dan lembut di dunia nyata, namun garang di media sosial.
