Menurut Lusi, potensi industri pariwisata halal di Jabar sangat besar meski saat ini baru menempati peringkat keenam nasional setelah Lombok, Aceh, Riau, DKI, dan Sumbar.
“Berdasarkan data BPT pada tahun 2019 kenaikan 20 persen kunjungan wisatawan ke Jabar yakni sebanyak 3,6 juta dengan 1,4 juta (40 persen) dari negara muslim. Ini artinya secara potensi sangat prospektif. Dalam pelaksanaannya, sesungguhnya dengan penduduk mayoritas muslim kita sudah berada dalam situasi yang bagus karena sebetulnya wisata halal itu bermakna extended services,” ungkap Lusi.
Namun, ujar dia, harus diakui masih ada persoalan koordinasi karena justru di lapangan seringkali penyebutan istilah wisata halal justru menjadi sensitive. “Inilah yang saya kira harus dibicarakan dan dikoordinasikan dengan lebih baik lagi,” ungkapnya.
Dalam paparannya, Dina Sudjana menegaskan secara konseptual sesungguhnya Indonesia sudah sejak lama menggagas apa yang disebut industri pariwisata halal.
“Saya sempat menjadi auditor halal LPPOM MUI dan menginisiasi kehadiran hotel syariah pertama di Jabar bahkan nasional. Kami juga menginisiasi hadirnya prototipe kantin halal sebagai destinasi wisata kuliner di Kantin Salman ITB,” katanya menguraikan.
Terbukti, kata Dina, Kantin Salman ITB meraih peringkat tertinggi destinasi wisata kuliner nasional. Pada 2014 bahkan Jepang belajar langsung ke Salman untuk memahami bagaimana konsep wisata halal ini.
"Buktinya, Jepang sekarang justru semakin maju dalam mengemas wisata halal ini dan sebaliknya di Indonesia masih sering terjebak pada debat yang tidak produktif,” ujarnya.
Sementara itu, Wisnu Rahtomo yang juga Kepala Unit Center for Tourism Destination Studies (CTDS) Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung mengakui, capaian industri pariwisata halal di tanah air itu jauh tertinggal dengan negara jiran.