Wisata Halal di Jawa Barat Punya Potensi Besar, tapi Ini Masalahnya Hingga Belum Maksimal

28 Juli 2021, 20:54 WIB
Diskusi Kelompok Terpumpun FGD dengan tema “Struktur Ekosistem Halal dan Analisis Kebijakan Pemerintah tentang Wisata Halal (Kasus Di Indonesia)”, Rabu, 28 Juli 2021. FGD yang digelar secara daring (webinar) tersebut diinisiasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Bandung (Unisba) /Tangkapan layar/

JURNAL SOREANG- Potensi pengembangan pariwsata halal di Jawa Barat dan Indonesia secara umum sangatlah besar.

Namun, kendala dalam aspek komunikasi dan koordinasi masih membuat impelementasi kebijakan pengembangannya tersendat.

Diperlukan sinergi, kolaborasi, dan kesepahaman antarberbagai pemangku kepentingan (stakeholders) agar iktikad menjadikan Indonesia sebagai tujuan utama pariwisata global dapat tercapat.

Demikian benang merah Diskusi Kelompok Terpumpun FGD dengan tema “Struktur Ekosistem Halal dan Analisis Kebijakan Pemerintah tentang Wisata Halal (Kasus Di Indonesia)”, Rabu, 28 Juli 2021.

Baca Juga: Wisata Brunei Darussalam Dihiasi Kemegahan dan Kemewahan Masjid, Pagarnya Saja Berlapis Emas!

FGD yang digelar secara daring (webinar) tersebut diinisiasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Bandung (Unisba) dengan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di Kota Bandung.

Kegiatan yang dibuka Ketua LPPM Unisba Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiatie itu menghadirkan narasumber Lusi Lesminingwati, SE., MM selaku Kepala Bidang Industri Pariwisata Disbudpar Jabar, Ir. Dina Sudjana (Ketua Harian Pusat Halal Salman ITB), dan  R. Wisnu Rahtomo, S.Sos.,MM (Ketua Jurusan Kepariwisataan STP Bandung, serta H. Herman Muchtar, SE, MM yang mewakili pengusaha.

Selain itu juga hadir anggota tim peneliti Fitri Rahmafitria, SP, MSi, Dr. Efik Yusdiansyah, SH., M.Hum, Ajang Lestari, dan Ferra Martian, M.I.Kom.

Baca Juga: Tepat! DPRD Apresiasi Langkah Pemkab Bandung Menutup Sementara Wisata dan SOR Jalak Harupat

Menurut Lusi, potensi industri pariwisata halal di Jabar sangat besar meski saat ini baru menempati peringkat keenam nasional setelah Lombok, Aceh, Riau, DKI, dan Sumbar.

“Berdasarkan data BPT pada tahun 2019 kenaikan 20 persen kunjungan wisatawan ke Jabar yakni sebanyak 3,6 juta dengan 1,4 juta (40 persen) dari negara muslim. Ini artinya secara potensi sangat prospektif. Dalam pelaksanaannya, sesungguhnya dengan penduduk mayoritas muslim kita sudah berada dalam situasi yang bagus karena sebetulnya wisata halal itu bermakna extended services,” ungkap Lusi.

Namun, ujar dia, harus diakui masih ada persoalan koordinasi karena justru di lapangan seringkali penyebutan istilah wisata halal justru menjadi sensitive. “Inilah yang saya kira harus dibicarakan dan dikoordinasikan dengan lebih baik lagi,” ungkapnya.

Baca Juga: Rencana Sandiaga Uno Kirim Delegasi Pariwisata ke Amerika Saat Pandemi, Faisal Basri: Jaga Wibawa Jokowi

Dalam paparannya, Dina Sudjana menegaskan  secara konseptual sesungguhnya Indonesia sudah sejak lama menggagas apa yang disebut industri pariwisata halal.

“Saya sempat menjadi auditor halal LPPOM MUI dan menginisiasi kehadiran hotel syariah pertama di Jabar bahkan nasional. Kami juga menginisiasi hadirnya prototipe kantin halal sebagai destinasi wisata kuliner di Kantin Salman ITB,” katanya menguraikan.

Terbukti, kata Dina, Kantin Salman ITB meraih peringkat tertinggi destinasi wisata kuliner nasional. Pada 2014 bahkan Jepang belajar langsung ke Salman untuk memahami bagaimana konsep wisata halal ini.

Baca Juga: Bangkitkan Pariwisata di Indonesia, Kemenpakeraf Ajak Tora Sudiro dan Darius Sinathrya Ikut Wonderful Ride

"Buktinya, Jepang sekarang justru semakin maju dalam mengemas wisata halal ini dan sebaliknya di Indonesia masih sering terjebak pada debat yang tidak produktif,” ujarnya.

Sementara itu, Wisnu Rahtomo yang juga Kepala Unit Center for Tourism Destination Studies (CTDS) Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung  mengakui, capaian industri pariwisata halal di tanah air itu jauh tertinggal dengan negara jiran.

Pada tahun yang sama, Malaysia mampu meraih sebanyak 6 juta wisatawan, Singapura mendapat 4 juta, dan Thailand mencapai 5 juta.

Ia menegasknan Indonesia harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan lebih banyak wisatawan Muslim. Penyebabnya, Indonesia belum mampu menghasilkan produk wisata halal yang dipercaya oleh turis asing. Padahal, sisi produk itu yang menjadi perhatian utama wisatawan Muslim.

“Jika ingin menjadi pemenang dalam kompetisi ini pelaku usaha industri halal tourism ini mesti mengikuti standar global. Patokan itu berisikan sejumlah indikator yang menunjukkan bagaimana sebuah destinasi bisa diminati,” ungkap Wisnu.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Situ Lengkong, Panjalu, Ciamis, yang Bernuansa Wisata Relijius

Untuk itu, ia mengatakan Pemprov Jabar sudah membentuk tim percepatan perwujudan destinasi halal dengan sistem yang terintegrasi dan memiliki indikator yang terukur. Pihaknya juga sudah menjalin MoU dengan Kemenparekraf.

“Tim sudah memiliki pilot project yakni destinasi wisata kuliner di Kabupaten Bandung Barat yang sudah mengikuti standar CHSE pariwisata halal, yakni  Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan).

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Herman Muchtar, mengatakan, perkembangan wisata halal hingga saat ini masih terus berkutat di tataran wacana.

Baca Juga: Meski Masa Pandemi, Wisata Alam Arboretum Alamendah, Sajikan Berbagai Wahana Alami dan Bisa Dikunjungi

“Bagi pengusaha mudah saja ukurannya jadi bisnis atau enggak. Nah, pemerintah  harus mampu menjamin dan memfasilitasi ekosistem yang memungkinkan bisnis ini jalan," katanya.

"Sudah itu saja, jangan membuat kebijakan atau aturan yang membuat pusing. Kalau memang engggak ada untungnya secara bisnis, tidak akan ada pengusaha yang mau,” katanya meninpali.***

Editor: Sarnapi

Tags

Terkini

Terpopuler