Menurutnya ini merupakan sebuah kajian yang sangat penting, terlebih bagaimana kita bisa memasarkan gagasan di antara orang-orang yang memang dipandang kompeten dalam bidang ini.
Sebagai pengantar, Prof. Asep Saeful Muhtadi, menjelaskan bahwa komunikasi politik pasca Pilpres 2024 dilihat dari dua sisi aktor komunikasi.
“Yang pertama elit yang kedua massa. Yang disebut elit adalah para pengambil kebijakan atau yang paling berkuasa, sehingga komunikasi politik pasca pilpres 2024 dikuasai oleh elit, seperti pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Yang kedua massa, massa itu sangat terombang-ambing karena dia bukan pemangku kebijakan, melainkan sebagai korban komunikasi yaitu masyarakat, sehingga mereka tidak bisa memainkan peran penting,’’ jelasnya.
Prof Samuh, sapaan akrabnya menambahkan pesan yang mendominasi komunikasi politik pasca pilpres 2024 adalah kegaduhan yang terjadi antara pihak yang menggugat dan pihak yang tergugat.
Hal ini disebabkan oleh proses komunikasi yang tidak sejalan dan tidak disepakati oleh bangsa Indonesia, terutama oleh aktor partai politik.
Dalam pemaparannya, Prof. Zaenal Mukarom, menuturkan pemilu dilihat dari kacamata komunikasi politik. Dari kacamata politik bisa dilihat dari tiga kaca: pertama dari teori kehendak rakyat, orang yang mendapatkan suara terbanyak itulah yang menang.
"Kedua, teori dukungan rakyat, yang mana gambarannya bahwa rakyat memberikan dukungan kepada pasangan yang dipilihnya; ketiga, kontrol sosial artinya pemilu dan pilpres harus dipandang bagaimana rakyat memberikan kontrol tentang pilihan politiknya,’’ ungkapnya.