Dalam menanggapi ayat ini, para ulama fiqih berselisih tentang siapa yang dimaksud oleh ayat tersebut, khususnya dalam kalimat: "Janganlah kamu menghalang halangi."
Imam Syafi'i berpendapat bahwa larangan itu ditujukan kepada wali berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang Qasim Ma'qil bin Yasir. Ma'qil mempunyai seorang saudara perempuan yang dinikahi oleh Abi 'Abdah.
Kemudian ia dicerai oleh suaminya itu. Setelah selesai iddah nya, Abi 'Abdah merasa menyesal dan ingin kembali kepada bekas istrinya itu.
Akan tetapi, Ma'qil sebagai wali tidak menyetujui lagi, sehingga peristiwa ini diketahui oleh Rasulullah saw. dan kemudian turunlah ayat di atas dan Ma'qil memperkenankan Abi 'Abdah kembali kepada saudarinya.
Dari riwayat yang merupakan sebab turunnya ayat ini, jelaslah bahwa larangan itu ditujukan kepada wali. Seandainya larangan dalam ayat itu tidak ditujukan kepada wali, niscaya perempuan itu dapat menikah sendiri dan tidak perlu tertunda oleh sikap Ma'qil tersebut sebagai walinya.
Jadi, jelaslah akad nikah tetap dilangsungkan oleh wali. Imam Hanafi berpendapat sebaliknya.
Larangan itu ditu jukan bukan kepada wali, akan tetapi kepada suami. Hal ini dapat terjadi bila bekas suami menghalangi bekas istrinya untuk kawin dengan orang lain.***