JURNAL SOREANG- Dalam islam kawin Cerai, maupun Rujuk, ada aturang yang sudah ditetapkan. Islam melarang untuk senaknya kawin cerai.
Sebab Allah Yang Maha Pemberi karunia dan Maha tinggi sama sekali tidak menyukai laki-laki maupun perempuan yang suka kawin cerai.
Jadi, seorang suami dibenarkan untuk menceraikan istrinya kalau benar benar ada fakta kedurhakaan istri.
Bagaimana kalau istri punya sifat-sifat kurang baik? Rasulullah saw telah mengajarkan: "Kalau ada satu sifat yang tidak kamu senangi pada istrimu, maka lihatlah sifat lain yang menarik."
Kalau pereraian sudah tidak bisa di elakan lagi, dan keduanya sudak mengambl keputusan cerai, maka janganlah saling menghalangi untuk mengambil pasangan yang baru, atau menikah dengan pasangan yang lama, karena ada masa idak dan rujuk.
Allah SAW. Berfirman: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddah nya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf..” (QS.Al-Baqarah : 232)
Ayat ini menjelaskan tentang wanita yang diceraikan oleh suaminya dan kemungkinan akan kawin lagi, baik dia akan kawin dengan bekas suaminya maupun dengan laki-laki lain.
Dalam menanggapi ayat ini, para ulama fiqih berselisih tentang siapa yang dimaksud oleh ayat tersebut, khususnya dalam kalimat: "Janganlah kamu menghalang halangi."
Imam Syafi'i berpendapat bahwa larangan itu ditujukan kepada wali berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang Qasim Ma'qil bin Yasir. Ma'qil mempunyai seorang saudara perempuan yang dinikahi oleh Abi 'Abdah.
Kemudian ia dicerai oleh suaminya itu. Setelah selesai iddah nya, Abi 'Abdah merasa menyesal dan ingin kembali kepada bekas istrinya itu.
Akan tetapi, Ma'qil sebagai wali tidak menyetujui lagi, sehingga peristiwa ini diketahui oleh Rasulullah saw. dan kemudian turunlah ayat di atas dan Ma'qil memperkenankan Abi 'Abdah kembali kepada saudarinya.
Dari riwayat yang merupakan sebab turunnya ayat ini, jelaslah bahwa larangan itu ditujukan kepada wali. Seandainya larangan dalam ayat itu tidak ditujukan kepada wali, niscaya perempuan itu dapat menikah sendiri dan tidak perlu tertunda oleh sikap Ma'qil tersebut sebagai walinya.
Jadi, jelaslah akad nikah tetap dilangsungkan oleh wali. Imam Hanafi berpendapat sebaliknya.
Larangan itu ditu jukan bukan kepada wali, akan tetapi kepada suami. Hal ini dapat terjadi bila bekas suami menghalangi bekas istrinya untuk kawin dengan orang lain.***