Teks Ceramah Ramadhan 2021: Jangan Kotori Kesucian Ramadhan dengan Petasan

- 24 April 2021, 07:44 WIB
Kabid Infokom MUI Kabupaten Bandung dan Pengawas SMP Disdikbud Kabupaten Bandung, Aam Munawar
Kabid Infokom MUI Kabupaten Bandung dan Pengawas SMP Disdikbud Kabupaten Bandung, Aam Munawar /Istimewa/

JURNAL SOREANG- Bagi umat Islam,  Ramadhan memiliki makna lebih dibandingkan bulan-bulan dalam kalender hijriyah lainnya. Berdasarkan dalil naqly (Alquran dan al-hadits) diperoleh banyak keterangan mengenai keutamaan bulan yang suci ini. Seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Aturmudzi, Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai manusia, sungguh telah menaungi kalian bulan yang agung, bulan yang penuh berkah…”

Keutamaan  Ramadhan ini telah menumbuhkan gairah bagi kaum muslimin untuk memperbanyak amal ibadah di bulan ini. Selain ibadah shaum sebagai ibadah yang pokok, kaum muslimin juga senantiasa membaca dan mempelajari Alquran (tadarus), berdiam di masjid (itikaf) dan menutupnya dengan membayar zakat fithrah.

Semangat untuk mendekatkan diri kepada Allah ini tentunya membutuhkan suasana yang penuh khidmat agar lebih khusuk dan kondusif. Itulah sebabnya selama bulan ini, masyarakat bersama pemerintah suka melakukan penertiban beberapa aktivitas yang disinyalir dapat mengganggu kekhusuan  orang-orang yang tengah menjalankan ibadah.

Baca Juga: Teks Ceramah Ramadhan 2021, Membedah Tradisi Petasan Saat Ramadhan

Mulai dari himbauan bagi pengusaha rumah makan agar tutup di siang hari, penertiban tempat-tempat hiburan, sampai razia warung-warung yang menjual-belikan minuman keras dan sejenisnya. Tentunya tindakan ini sangat mudah dipahamami dan patut diapresiasi oleh semua pihak, karena selain melakaukan pendidikan toleransi (tasamuh), juga upaya menghindari terjadinya konplik yang berlatarbelakang sara.

Belakangan, hal yang masuk dalam kategori perlu penertiban di  Ramadhan adalah petasan termasuk penertiban pendistribusian dan penyulutan petasan. Regulasi yang menaungi aturan ini, biasanya instruksi kepala daerah setempat atau himbauan dari aparat kepolisian. 

Ada dua hal yang berkaitan dengan petasan ini, selain karena mengganggu kehidmatan orang dalam beribadah, juga alasan keamanan yang biasanya terjadi akibat petasan, seperti kebakaran atau kerusuhan. Untuk itu beberapa ormas Islam bersama-sama dengan aparat, senantiasa menertibkan penjualan dan penyulutan petasan di bulan Ramadhan.

Baca Juga: Khazanah Ramadhan: Syekh Nawawi Al Bantani, Ulama Asal Banten yang Hidup Sederhana Namun Dikenang Dunia

Nampaknya keputusan ini memperoleh hasil yang semakin baik, jumlah petasan di pasaran, juga aktivitas menyulutnya di masyarakat semakin berkurang. Mudah-mudahan hal ini menjadi indicator dari meningkatnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang bahaya di balik tradisi menyulut petasan.

Kehadiran tradisi menyulut petasan, baik yang bermotif iseng, strategi, hobi apalagi ritual, tentunya akan kontra produktif dengan maksud baik dari orang yang ingin mengisi hari-hari di Bulan Ramadhan dengan berbagai amal ibadah. Tidak jarang, bunyi petasan dapat memantik perselisihan antar kampung, atau mengganggu kekhusuan saat melaksanakan salat tarawih.

Mengenai perbuatan iseng, secara tegas Islam mengajarkan perbuatan yang sia-sia (lagha) itu bukan perilaku dari orang beriman yang disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang beruntung (QS. Al-Mu’minun:3). Bahkan dinyatakan dalam sebuah hadits, Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya. (H.R. at-Tirmidzi).

Baca Juga: Bisakah Niat Puasa Sekali untuk Selama Ramadhan? ini Jawaban MUI Kabupaten Bandung

 Masih banyak cara untuk menciptakan kemeriahan Bulan Ramadhan melalui kegiatan yang jelas ada tuntunannya dari Rasulullah atau diambil dari kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai syar’i, di luar menyulut petasan.

Menyelenggarakan lomba keagamaan, kajian Islam intensif (pesantren kilat), kursus membaca kitab kuning, program khatam Alquran, bimbingan menghafal Alquran (hifdul quran), merupakan beberapa alternatif kegiatan yang lebih mashlahat dalam mengisi dan menyemarakkan Ramadan.

Apalagi melalui beberapa hadisnya, Rasulullah selalu mengingatkan bahwa tidak sedikit orang yang berpuasa, sementara dia tidak mendapatkan fahala apapun selain rasa lapar dan dahaga. Semua itu tentunya berkaitan dengan amalan yang mengiringi selama seseorang beribadah shaum. Menyulut petasan termasuk di antara perilaku yang berpotensi untuk mengurangi kualitas ibadah, apalagi jelas-jelas mengganggu orang lain. 

Baca Juga: Nikmatnya Puasa Ramadhan dengan Tujuh Faedah, Ini Penjelasannya

Terlebih untuk tradisi menyulut petasan yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan terhadap kekuatan ghaib. Bila motivasi ini dijadikan alasan ketika menyulut petasan, sungguh sangat bertentangan dengan pokok ajaran Islam sebagai agama tauhid (monotheisme), karena merupakan bentk kemusyrikan. Padahal secara tegas Alquran menyatakan, Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepadaNya, dan akan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. an-Nisa : 48).

Bila ada ayang beranggapan dengan membunyikan petasan dapat menghindarkan seseorang dari gangguan syetan, sehingga ibadah puasa dan yang lainnya di Bulan Ramadhan akan semakin khusuk, maka sungguh ini merupakan keyakinan yang menyimpang dan berindikasi kepada mencampurkan antara hak (kebenaran) dan bathil (kesalahan).

Tidak diperoleh sepotong pun fakta ilmiah yang mengubungkan tradisi menyulut petasan dengan ibadah shaum, apalagi berdasarkan nash. Hanya ada sedikit fakta yang diangkat dari kearifan lokal berkaitan dengan hal ini, yaitu adanya beberapa kebiasaan di daerah tertentu, seperti membunyikan lodong (meriam karbit) di Kabupaten Pontianak di Bulan Ramadhan, itu semua dilatarbelakangi oleh kondisi dan maksud tertuntu yang positif.

Baca Juga: Sehari Raup keuntungan Rp40 juta, Penjualan Barang Kedaluwarsa di Dayeuhkolot Bandung Diungkap Polisi

Beberapa meriam karbit dibunyikan menjelang magrib atau subuh di Bulan Ramadhan, dimaksdukan untuk membangunkan orang bersahur atau mengingatkan bahwa waktu berbuka sudah dekat, itupun dilakukan saat teknologi belum berkembang seperti sekarang. Misalnya pengeras suara (speaker) yang belum ada, atau jam dinding yang masih menjadi barang mahal.

 Tradisi menyulut petasan mungkin ada sisi positifnya, baik secara sosial maupun ekonomi. Namun  bahayanya tentu akan lebih besar bila dibandingkan dengan manfaatnya.

Menyulut petasan di Bulan Ramadhan tidak ada manfaatnya, selain hanya meluapkan emosi dan melampiaskan hobi sesaat. Kesucian Ramdhan akan lebih bermakna bila diisi dengan kegiatan-kegiatan yang jelas bernilai ibadah, karena selain dapat menambah pahala, juga insya Allah akan lebih meningkatkan kualitas ibadah shaum kita di hadapan Allah Swt. Semoga.***

Penulis: Aam Muamar (Kabid Infokom MUI Kabupaten Bandung dan Pengawas pada Disdikbud Kabupaten Bandung)

Editor: Sarnapi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah