Cacarekan: Sebuah Tradisi Lisan dari Masyarakat Desa Sukakersa, Kabupaten Sumedang

- 7 Februari 2023, 20:35 WIB
Ilustrasi Cacarekan: Sebuah Tradisi Lisan dari Masyarakat Desa Sukakersa, Kabupaten Sumedang
Ilustrasi Cacarekan: Sebuah Tradisi Lisan dari Masyarakat Desa Sukakersa, Kabupaten Sumedang /unsplash/Tyler Morgan/

Orang tersebut adalah orang yang sedang menghadapi satu kondisi yang bertolak belakang dengan aspek kehidupan yang dipandang penting dan berharga tadi. Bahkan ini juga ada kecenderungan keadaan tersebut sudah berada di luar batas kemampuan seseorang itu. Dia telah berupaya semaksimal mungkin untuk mengatasinya, namun hasilnya tetap tidak sesuai harapan. Kondisi tersebut yang bisa membuat dia merasa khawatir, sedih, malu, takut, atau kecewa.

Baca Juga: Simak Manfaat Jurnaling Bagi Kesehatan Mental

Beberapa contoh dari keadaan yang bertolak belakang tadi di antaranya sebagai berikut.

  1. Ada seorang bapak yang pernah memiliki cacarekan ketika anaknya jatuh dari pohon. Dia merasa khawatir anaknya menjadi cacat. Padahal anak yang memiliki kondisi fisik yang mulus tanpa cacat sangat penting. Terbukti ketika seorang ibu melahirkan, dia selalu bertanya apakah anaknya mulus tidak kurang suatu apapun.
  2. Ada seorang petani yang pernah memiliki cacarekan ketika sedang berlangsung musim hama. Dia khawatir lahan pertaniannya terancam gagal panen. Padahal panen yang melimpah merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan dia sebagai petani. Namun hal itu tampak dari adanya upacara wuku taun sebagai refleksi rasa syukur masyarakat Desa Sukakersa terhadap hasil pertanian yang mereka selama setahun itu.
  3. Ada seorang suami yang pernah memiliki cacarekan ketika istrinya lama tidak mengandung setelah mereka menikah. Disebabkan keberadaan anak itu begitu penting dan bernilai bagi kelangsungan pernikahannya dan juga di lingkungan masyarakatnya.
  4. Ada seorang ayah yang pernah memiliki cacarekan ketika dia harus bekerja keras membiayai anaknya yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dia mengeluarkan cacarekan ini dengan jika anaknya bisa menyelesaikan pendidikan tinggi. Disebabkan merasa pendidikan itu begitu penting sebagai bekal untuk masa depan anaknya. Selain hal itu pula menjadi seorang sarjana juga bisa menjadi kebanggaan keluarganya, di mata lingkungan masyarakatnya, yang umumnya masih berpendidikan rendah.
  5. Ada seorang ibu yang pernah memiliki cacarekan ketika putrinya belum berjodoh meskipun usianya sudah lebih dari cukup untuk ukuran masyarakat setempat. Cacarekan itu muncul, disebabkan khawatir putrinya menjadi perawan tua.

Gambaran diatas adalah gambaran tentang berbagai kondisi yang dapat menjadi pemicu munculnya cacarekan yang tidak akan terekspresikan langsung dalam rangkaian kata-kata yang tercatat dalam hati maupun yang terucap dari bibir seseorang. Faktor pemicu tersebut hanya ada di balik munculnya ekspresi cacarekan seseorang. Namun, hal itu dapat tertangkap dalam sebuah harapan yang ada dalam kalimat cacarekan.

Baca Juga: Kuda Renggong: Mengenal Sejarah Kesenian Kuda Igel dari Kabupaten Sumedang

Harapan dalam sebuah Cacarekan

Kondisi-kondisi yang telah dijelaskan diatas adalah kondisi yang dapat mampu mendorong seseorang untuk melakukan upaya terakhir dengan berharap akan adanya pertolongan, mujizat, keajaiban, dan atau apapun sejenisnya dimana agar dapat melewati keadaan itu. Seseorang ini berharap akan ada perubahan menuju suatu keadaan yang baik dan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Harapan itu tidak sekadar harapan yang biasa saja. Melainkan harapan yang dicatat dalam hati dan atau diucapkan dalam bentuk lisan, bahkan mungkin juga ada orang lain yang telah mendengarkannya.

Harapan secara eksplisit terdapat pada frase awal atau frase akhir dalam kalimat yang dikategorikan sebagai sebuah cacarekan. Beberapa contoh harapan (sebagai frasa awal) yang muncul dari sebuah keadaan yang telah disebut diatas yakni sebagai berikut:

  1. Ketika ada seorang anak jatuh dari pohon, seorang bapak mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut:
    “Upami pun anak sehat deui sabihara sabihari…” yang artinya adalah “Jika anakku kembali sehat seperti biasa….”
  2. Ketika sedang berlangsung musim hama, ada seorang petani mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut: “Lamun melak pare ayeuna salamet nepi ka panen…” yang artinya adalah “ Kalau menanam padi selamat (tidak terganggu hama) sampai masa panen tiba…”
  3. Ketika ada seorang seorang istri belum hamil saja padahal sudah lama menikah, suaminya mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut: “Upami pun bojo ngandeg,…” yang artinya adalah “ Jika istriku hamil…”
  4. Ketika ada seorang ayah merasa harus bekerja keras membiayai anaknya yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, dia mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut: “Lamun engke budak tamat sakolana…” yang artinya adalah “Jika nanti anaknya bias menyelesaikan sekolah…”
  5. Ketika ada seorang ibu yang khawatir sebab anaknya belum berjodoh, dia mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata kalimat berikut: “upami pun anak kenging jodona…” yang artinya adalah “Kalau anakku mendapat pasangan hidup…’

Baca Juga: Mengurus Anak Bukan Hanya Tugas Ibu, Simak Parenting Nikita Willy dan Indra Priawan

Janji dalam sebuah Cacarekan

Halaman:

Editor: Josa Tambunan

Sumber: Kemdikbud


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x