Top, Pemikiran Politik Sunda Menjadi Mata Kuliah Khas di FISIP UIN Sunan Gunung Djati

- 23 Juni 2021, 13:18 WIB
Webinar Internasional Prodi Ilmu Politik UIN SGD “Aktualisasi Pemikiran Politik Sunda” pada Rabu 23 Juni 2021.
Webinar Internasional Prodi Ilmu Politik UIN SGD “Aktualisasi Pemikiran Politik Sunda” pada Rabu 23 Juni 2021. /UIN SGD/

JURNAL SOREANG- Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati mulai memberikan mata kuliah Pemikiran Politik Sunda secara formal kepada mahasiswa.

Mata kuliah ini diharapkan menjadi salah satu kekhasan di lingkungan Prodi Ilmu Politik UIN SGD dan dalam prosesnya menjadi bagian penting internalisasi nilai-nilai kearifan lokal Sunda dalam mewarnai kehidupan sosial politik kekinian.

Demikian salah satu benang merah yang mengemuka pada Webinar Internasional Prodi Ilmu Politik UIN SGD “Aktualisasi Pemikiran Politik Sunda” pada Rabu 23 Juni 2021.

Baca Juga: Kisah Pilu Lord Rangga Sunda Empire, Ibunda Meninggal Ketika Dirinya Dipenjara

Diskusi menghadirkan pembicara Guru Besar Kajian Indonesia Universitas Nanzan Jepang, Prof Mikihiro Moriyama, dosen Ilmu Politik UIN SGD Dr. Hasan Mustapa, dan Budayawan yang juga Rektor Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Tasikmalaya Dr l. Asep Salahudin, MA. Diskusi dibuka oleh Dekan FISIP UIN SGD Ahmad Ali Nurdin, PhD dan Kaprodi Ilmu Politik Dr. Asep Sahid Gatara.

Dalam pemaparannya, Prof. Mikihiro menyinggung tentang eksistensi bahasa Sunda yang sampai saat ini masih melengkapi khazanah perbendaharaan bahasa lokal di Indonesia tidak lepas dari perjuangan para generasi pendahulu.

Sejarah mencatat, sejak abad 19 sudah muncul upaya untuk membangunkan kembali Bahasa Sunda menjadi sejajar dengan Bahasa Melayu dan Bahasa Jawa. “Bagi masyarakat Sunda, bahasa itu adalah kunci identitas,” ujarnya.

Baca Juga: Singkatan Ngawur Rangga Sasana Sunda Empire Tentang Paman Sam, Begini Arti Sebenarnya

Menurut Prof. Mikihiro, masyarakat Sunda menganggap penting eksistensi kebahasaannya jika dibandingkan dengan suku bangsa lain di Indonesia. Hal ini terlihat dari bagaimana para intelektual Sunda pasca abad ke-19 mulai menerapkan Bahasa Sunda di antara Bahasa Melayu dan Jawa.

Mengutip pendapat Raden Haji Moehamad Moesa, Sastrawan Sunda pada abad ke-19, sebelum abad 19 Bahasa Sunda tidak begitu dikenal di kalangan Eropa, serta tergusur eksistensinya oleh kebudayaan Jawa.

“Hal ini menyebabkan ada upaya untuk meningkatkan kembali eksistensi Bahasa Sunda oleh para sastrawan dan kaum intelektual,” katanya menguraikan.

Baca Juga: Kakanwilkumham Jabar, Sudjonggo: Siap Pecat Notaris yang Membantu Aset Koruptor dan Teroris

Sedangkan Dr. Hasan Mustapa menjelaskan Pemikiran Politik Sunda sebagai mata kuliah resmi diimplementasikan pada jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada semester genap 2020-2021. “Mata kuliah ini diharapkan dapat menjadi satu ciri khas jurusan Ilmu Politik,” katanya.

Spektrum mata kuliah ini, menurut dia, secara umum menggabungkan dua pendekatan, yakni dalam konteks atmosfir pemikiran politik serta gagasan-gagasan politik.

Dalam konteks atmosfir pemikiran politik Sunda, meliputi suasana kepemimpinan Sunda di era Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi; Penelaahan konsep filosofis Tritangtu di Buana, sebuah gagasan genuine tentang tiga wilayah kekuasaan yang ada dalam suasana pemikiran sunda pada zaman dahulu.

Baca Juga: Kujang , Pusaka Aheng Yasana Budaya Sunda: Leuwih Dimumule ku Urang Jawa

“Analisis genuisitasnya dilihat dari kacamata trias politika pada alam modern; Polemik Perang Bubat yang mencuatkan nama Putri Citraresmi juga diharapkan memberikan gambaran awalnya munculnya persoalan etnis di tatar Sunda,” ucapnya.

 Dr. Asep Salahudin berharap kehadiran Pemikiran Politik Sunda sebagai sebuah mata kuliah atau kajian akademik diharapkan menjadi bagian dari pengilmuan pemikiran politik sunda. Yakni, mengubah sisi subjektif sunda menjadi sisi objektif ilmu.

"Penerjemahan nilai-nilai Sunda  ke dalam kategori objektif, kalau meminjam bahasa Kuntowijoyo. Sebab, harus diakui, pemikiran dalam peradaban Sunda sampai saat ini masih diwarnai oleh aspek yang sifatnya mitologis. Mitologi ini yang harus diobjektifikasi menjadi logos atau ilmu,” ucap penulis buku “Kitab Tri Tangtu” ini.

Baca Juga: Bahasa Sunda Bisa Nyageurkeun Pasen Afasia

Ia melanjutkan identitas kultural  kesundaan bukan identitas yang ditakdirkan dan kemudian hadir begitu saja serta terpisah dari yang lainnya,  tapi  hasil silang budaya, persentuhan politik, dialektika sejarah, persenyawaan keagamaan dan lain sebagainya.

“Identitas Sunda adalah buah dari dialog dengan kebudayaan lain. Sehingga apa  pun klim ‘kemurniaan’ dan obsesi kembali pada ‘yang asli’ bukan hanya  dongeng tapi juga utopia yang tidak ditemukan argumentasinya yang kuat dan faktanya yang mapan,” ucapnya.

Identitas di mana pun juga merupakan konstruksi yang tidak sepenuhnya  lengkap dan otomatis memberikan rongga kosong untuk dilengkapi yang lain dalam sebuah proses perubahan yang panjang dan tak berujung.

Baca Juga: Wow, Artikel Pengganti Skripsi Ini Hanya 6 Halaman dan Diluluskan oleh Dekan Ushuluddin UIN Bandung

"Identitas sebagai sesuatu yang dapat berubah, terus bergerak, tidak permanen dan tindak mungkin abadi," katanya. ***

Editor: Sarnapi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x