JURNAL SOREANG- Indonesia mendapatkan kabar gembira di tengah pandemi dengan hasil devisa ekspor sawit mampu mencapai Rp300 triliun per tahun.
industri ini juga mampu menyerap tenaga kerja dan petani hingga 16 juta orang," kata wakil rakyat asal Sulawesi Selatan II, Andi Akmal Pasluddin, Rabu 3 November 2021.
Tetapi masih ada beberapa persoalan di dalamnya termasuk adanya perusahaan yang melanggar HGU.
" Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekonomi kerakyatan. Dengan adanya kelapa sawit, infrastruktur, perekonomian, bahkan tingkat edukasi di daerah terpencil menjadi meningkat," kata Akmal yang juga ketua Brigade Pembela Keadilan.
Baca Juga: Karena Bela Hak Masyarakat Adat, Bupati Sorong Digugat Sebuah Perusahaan Sawit
Hanya, sangat di sayangkan, di kawasan Papua dan Papua Barat, masih terjadi konflik lahan kelapa sawit terkait HGU.
"Saya minta pemerintah tidak masuk angin, atau terpengaruh dengan tindakan apa pun terkait adanya pelanggaran perusahaan yang tidak bayar pajak hingga menanam di luar izin", tutur Akmal.
Saat ini, tambah Akmal, Moratorium Sawit masih berlangsung di bawah regulasi Inpres No 8 tahun 2018.
"Persolan perkebunan kelapa sawit ini bukan hanya di Papua, di Jambi pun kerap di temui konflik orang rimba kerap terjadi. Pemicu utama konflik karena orang rimba terpaksa hidup menumpang di tengah perkebunan kelapa sawit," katanya.
Contoh kasus terbaru yang sudah mulai ramai adalah konflik anggota kelompok Orang Rimba yang berujung aksi anarkis.
"Konflik yang menuai kerugian dari berbagai pihak ini mesti dapat di cegah di masa yang akan datang. Untuk itu, pemerintah agar setiap perusahaan yang berdiri mengeksploitasi tanah Indonesia ini, mesti mampu membina orang-orang rimba yang secara turun temurun ada sejak sebelum perusahaan kelapa sawit berdiri," katanya.
Baca Juga: Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat Jauh dari Target, DPR: Harus Ada Terobosan
Selain Konflik di tengah perkebunan kelapa sawit antara orang rimba dan perusahaan, Petani sawit mandiri mesti dapat perlindungan terhadap persoalan harga.
"Di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, sawit dihargai Rp.1800,-. Alasannya klasik persoalan biaya transportasi jemput dan kualitas. Padahal Petani ini kan sudah pakai bibit yang unggul dan merawat sawitnya dengan sebaik-baiknya", tutur Akmal.
Selain itu, lanjut Akmal, keberlangsungan petani sawit saat ini terancam dengan tingginya harga pupuk. Kenaikan harga pupuk rerata 60%-120% dalam 8 bulan terakhir telah melewati batas kewajaran karena lebih tinggi daripada harga TBS sawit.
"Saya kahwatir, program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dapat mengalami kendala besar karena persoalan pupuk ini. Pemerintah mesti memberi perhatian terkait persoalan pupuk untuk sawit ini, mengingat devisa dari sawit untuk negara ini per tahun mencapai ratusan triliun. Jangan sampai kondisi ini, di masa yang akan datang mempengaruhi terhadap penerimaan negara", tutup Andi Akmal Pasluddin.***