Lawang Sewu, Wajib Dikunjungi Penyuka Wisata Sejarah

2 Juni 2023, 19:09 WIB
Lawang Sewu, cocok dikunjungi bagi yang menyukai wisata sejarah./Instagram/@dianqurato /

JURNAL SOREANG - Lawang Sewu menjadi salah satu pilihan yang tepat bagi anda yang menyukai wisata sejarah. Apalagi selain keindahan, bangunannya juga memiliki sejarah yang menarik.

Lawang Sewu merupakan bangunan bersejarah yang dibangun pada zaman kolonial Belanda di tahun 1900an dan saksi bisu dari peristiwa pertempuran lima hari yang berlangsung pada tahun 1945 antara Angkatan Pemuda Kereta Api (AMKA) dengan tentara Jepang.

Jika dilihat dari istilah orang Jawa, “lawang” berarti pintu, dan “sewu”, bermakna seribu atau menjadi kata yang mewakili angka paling banyak di zaman dahulu.

Baca Juga: Resmi! Messi Hengkang dari PSG, Berikut Keterangan Pelatih PSG

Karenanya “Lawang Sewu” artinya seribu pintu. walaupun kalau dilihat dari jumlah aslinya, memiliki 928 pintu hingga kurang 72 pintu saja bukan untuk benar-benar disebut sewu.

Lawang Sewu terletak di jantung kota Semarang, tepatnya di Jl. Pemuda. Awalnya bangunan tersebut merupakan kantor administrasi kereta api Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

Gedung tersebut dibangun secara bertahap di atas lahan seluas 18.232 m² dan dirancang oleh arsitek yang berbeda.

Baca Juga: Direktur Pelayanan Haji Indonesia Saiful Mujab: Kami Pastikan Jemaah Haji yang Tertunda Bukan Berarti Batal

Menurut keterangan salah seorang tour guide, Mas Aris seperti dilansir kemenparekraf.go.id, Lawang Sewu terdiri dari lima bangunan. Proses perancangan awal Lawang Sewu dimulai oleh seorang arsitek asal Belanda Ir. P. de Rieu. Bangunan yang pertama kali dibuat adalah gedung C yang difungsikan sebagai kantor percetakan karcis kereta api pada tahun 1900.

Setelah Ir. P. de Rieu meninggal dunia, kemudian Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag ditunjuk untuk melanjutkan pembangunan Lawang Sewu. Pengerjaan gedung A sebagai kantor utama NIS pun dimulai pada Februari 1904 dan selesai Juli 1907.

“Kalau kita lihat bentuk bangunannya (bentuk dalam gedung A) kaya gerbong kereta, jadi semuanya saling berhubungan seperti gerbong kereta api, hal ini dilakukan untuk mempermudah komunikasi orang Belanda kala itu,” kata Mas Aris.

Baca Juga: Cocok Jadi Pilihan! Inilah 7 SD dan MI di Bengkulu Tengah yang Telah Terakreditas A Tahun 2022 dari BAN SM

Seiring berkembangnya kantor kereta api Belanda, maka dibangunlah beberapa gedung pendukung, yakni gedung B, D, dan E pada tahun 1916 – 1918.

Untuk gedung B sendiri masih dibangun oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag. Sementara untuk gedung D dan E arsiteknya ialah Thomas Karsten. Ia menjadi arsitek termuda dan terakhir yang merancang pembangunan Gedung Lawang Sewu.

Jika dicermati, bangunan Lawang Sewu menggunakan batu bata keramik berwarna oranye yang melambangkan sebuah kekayaan, kemakmuran, dan juga menunjukkan kasta tertinggi. Zaman dahulu, batu bata ini tergolong langka dan harga per-batanya pun sangat mahal.

Baca Juga: Sebanyak 359 Jemaah Haji Kloter Pertama Tiba Lebih Awal di Makkah Al-Mukarramah

“Zaman dulu satu batu bata ini ditaksir mencapai 300 ribu harganya. Dan yang unik, cetakannya ada yang melengkung," kata Aris.

Setelah mengalami pemugaran dan renovasi, kini Lawang Sewu difungsikan sebagai museum yang menyajikan ragam koleksi yang berhubungan dengan kereta api. Mulai dari seragam masinis, alat komunikasi (telepon kayu, telegraf), alat hitung friden, lemari karcis edmonson, karcis kereta kuno, mesin cetak tanggal untuk karcis kereta, dan lainnya.

Seusai masa kolonial Belanda, Lawang Sewu berpindah tangan menjadi markas tentara Jepang sekaligus kantor transportasi Jepang bernama Riyuku Sokyoku pada tahun 1942.

Singkat cerita, di tahun 1945 yang merupakan tahun kemerdekaan Indonesia, terjadilah pertempuran yang melibatkan AMKA (Angkatan Pemuda Kereta Api) dengan prajurit Jepang. Pertempuran ini berlangsung selama lima hari tiada henti pada 15 - 19 Oktober.

Baca Juga: Bakal Seru! Persiapan Melawan Leonel Messi Pemain Naturalisasi Indonesia Berlatih Di Spanyol

Salah satu penyebabnya adalah tewasnya dr. Kariadi yang merupakan dokter paling andal kala itu.

Prajurit Jepang berada di dalam kawasan Lawang Sewu, sementara AMKA berada di Wilhelminaplein tepat seberang Lawang Sewu. Wilhelminaplein inilah yang dikenal dengan Kawasan Taman Tugu Muda.

Dari segi jumlah dan senjata pemuda AMKA dinilai memang sudah kalah. Prajurit Jepang ada sekitar 500 ribu orang dengan senjata bayonetnya, sementara AMKA hanya berjumlah 2 ribu lebih pemuda dengan senjata bambu runcing. Namun dengan semangat yang menggelora dan pantang menyerah, pemuda AMKA tetap berusaha melawan, walau pada akhirnya harus gugur di medan perang.

“Kawasan Wilhelminaplein ini dulunya dijadikan kuburan massal bagi pemuda AMKA yang meninggal. Namun, kemudian jasad-jasadnya dipindahkan ke makam yang lebih layak, yakni Makam Giri Tunggal, makam pahlawan dari pejuang AMKA,” ujar Mas Aris.

Berlatar sejarah inilah, pemerintah menetapkan Lawang Sewu sebagai gedung warisan bersejarah yang perlu terus dijaga dan dilestarikan.***

Editor: Ade Mamad

Sumber: Kemenparekraf

Tags

Terkini

Terpopuler