Ini Hasil Konsultasi Menteri BUMN dan Menkes dengan KPK Soal Pengadaan Vaksin Rp60 Triliun

- 8 Januari 2021, 22:16 WIB
Vaksin corona
Vaksin corona /

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengakui bahwa potensi korupsi dalam pengadaan vaksin dapat terjadi khususnya karena produsen vaksin Covid-19 terbatas dan harganya akan mudah sekali dikendalikan.

"Misalnya vaksin Sinovac di Thailand dijual berapa sih? Karena yang beli ini kan banyak negara dan berebut, jadi mudah dikontrol harganya tapi penyimpangan tidak hanya di pengadaan tapi bisa saja justru di distribusi karena vaksin sangat terbatas sementara orang berharap lebih dulu divaksin," tuturnya.

Baca Juga: Bupati Bandung Terpilih Kang DS Akan Alokasikan Rp 100 Miliar bagi Guru Ngaji dan Rp 100 Juta Per RW

Dengan target 181 juta orang yang akan divaksin, sangat mungkin banyak pihak ingin lebih dulu divaksin.

"Tapi 181 juta orang secara bergilir akan divaksin sampai 1 tahun ke depan, kami berharap betul peran serta masyarakat ikut mengawasi pelaksanaan vaksinasi jadi sampai yang terkecil dapat giliran, tidak berebut meski vaksinya terbatas," tegasnya.

Alexander membuka kemungkinan KPK menyediakan fitur pengaduan terkait vaksin seperti program sebelumnya yaitu "jaga bansos" untuk mengawasi penyaluran bantuan sosial.

Baca Juga: DPR Prihatin, Sekitar 60 persen dari 17 Ribu Nelayan Sukabumi Hidup di Bawah Garis Kemiskinan.

"Bicara program kita bisa buat supaya masyarakat terlibat tapi terkait vaksin ini perlu ada 'data base' bersama. Kami menggandeng Kementerian Dalam Negeri selaku pemilik NIK (Nomor Induk Kependudukan) agar yang divaksin jelas, harus terverifikasi data kependudukannya," akunya.

Kejelasan NIK itu dibutuhkan agar tidak ada satu penduduk yang divaksin lebih dari 2 kali.

"Harus jelas terdaftar di situ siapa yang sudah divaksin terdata, jadi NIK mengidentifikasi siapa yang sudah divaksin supaya kontrolnya mudah," tambah Alexander.

Halaman:

Editor: Handri

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah