PLN Beli dari Swasta Padahal Listrik Nasional Surplus 30 Persen, DPR RI: Untuk Apa?

6 Agustus 2021, 19:27 WIB
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto. /Foto: pakmul.id.

JURNAL SOREANG - Perusahaan Listrik Negara (PLN) memperpanjang kontrak listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) yang seharusnya telah habis masa operasi pembangkitnya.

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto melihat ada keganjilan di balik perpanjangan kontrak listrik tersebut.

"Keganjilan yang saya lihat itu salah satunya terkait klausul take or pay (TOP) yang merupakan kewajiban PLN membeli minimal 70 persen produksi listrik swasta, yang tetap ada dalam perpanjangan kontrak tersebut," ungkap Mulyanto, sebagaimana dikutip dari dpr.go.id yang diunggah pada Kamis, 5 Agustus 2021.

Baca Juga: KPU Berencana Ubah Desain Surat Suara Pemilu 2024, Ini Kata Komisi II DPR RI

Mengingat saat ini pasokan listrik secara nasional surplus lebih dari 30 persen, tentunya Mulyanto mempertanyakan pembelian listrik itu.

Dia menilai, PLN seolah memperlihatkan posisi daya tawar yang lemah, dimana seharusnya pihak PLN dapat menolak perpanjangan kontrak listrik swasta di tengah surplus listrik seperti sekarang ini.

"Untuk apa memperpanjang kontrak dengan pihak IPP, dimana PLN sudah tidak membutuhkan listrik di tengah demand listrik yang rendah? Apalagi klausul TOP tetap masih disertakan di dalam kontrak tersebut. Ini mengherankan," tegasnya.

Ketentuan TOP, lanjut Politisi Fraksi PKS ini, merupakan beban berat untuk PLN karena mereka terpaksa harus membayar listrik sebanyak minimal 70 persen, baik yang dibutuhkan atau tidak dibutuhkan.

Baca Juga: Desak Pemerintah Tunda Migrasi TV Digital, Komisi I DPR RI: Jangan Nambah Beban Rakyat Lah!

"Dulu saat kita kekurangan listrik, klausul TOP ini menjadi alat yang efektif untuk membujuk IPP swasta, agar mereka mau membangun pembangkit listrik. Tapi saat ini kondisinya sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Listrik kita berlebih, sedang program tambahan listrik 35 ribu MW sudah terlanjur kontraktual beserta klausul TOP-nya," paparnya

Hal tersebut semakin membebankan keuangan PLN karena utang PLN saat ini hampir mencapai Rp500 triliun.

"Jadi, saya mendorong penuh agar PLN me-renegosisasi lagi klausul dan besaran TOP ini. Tidak perlu ada perpanjangan kontrak listrik dengan tetap mencantumkan klausul TOP di tengah kelebihan listrik seperti sekarang ini," imbuh Mulyanto.

Ditambah lagi, ke depannya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) harus terus dikurangi dan dengan tanpa kontrak baru, demi komitmen terhadap pengembangan green energy.

Baca Juga: Polemik Pengecatan Pesawat Kepresidenan, Angota DPR Anggarannya Lebih Baik Dipakai Bantu Daerah Rawan Pangan

Padahal, PLTU adalah sumber energi primer yang murah dan memberikan keuntungan selama ini bagi PLN. Tentu saja, pengurangan PLTU akan semakin menambah beban berat untuk PLN.

Beban PLN tidak hanya itu. Ada juga rencana pelaksanaan holdingisasi PLTU dalam rangka konsolidasi dan efisiensi operasional bisnis PLN, termasuk holdingisasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) bersama dengan Pertamina.***

Editor: Rustandi

Sumber: dpr.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler