“Diskusi ini ingin mengkaji, dapatkah batik terus bertahan ditengah industri fesyen yang sangat beragam dan menarik? Di sisi lain, negara lain juga turut memproduksi batik, khususnya batik printing yang murah harganya,” terang Atdikbud Najib.
Diskusi menghadirkan pembicara dari kalangan peneliti, akademisi, dan praktisi batik baik dari Australia maupun Indonesia. Pembicara dari James Cook University, Maria Wornska Friend, dalam uraiannya menjelaskan Batik Jawa berkontribusi besar bagi dunia sejak berabad-abad silam.
Baca Juga: Hari Batik Nasional, Inilah Fakta Tentang Batik yang Pernah Jadi Favorit Nelson Mandela
“Pengaruh Batik Jawa bukan hanya di nusantara, tapi hingga ke India, Afrika, Eropa, bahkan Australia,” tutur Maria yang sudah melakuan penelitan tentang Batik Jawa selama lebih dari 30 tahun ini.
Maria juga mencontohkan batik motif “Parang Rusak” dari Jawa Tengah telah menginspirasi “the fan motive” yang diproduksi oleh perusahaan manufaktur kain kenamaan asal Belanda, Vlisco.
“Sebelum tahun 1913, di Manchester terdapat batik Afrika Barat yang motifnya terinspirasi dari Batik Jawa. Bahkan di India, penyair besar Rabindranath Tagore pada tahun 1929 sudah mengenakan batik Jawa. Ini menunjukkan betapa Batik Jawa memang sudah mendunia sejak lama,” papar Maria.
Baca Juga: Besok Pakai Batik untuk Peringati Hari Batik Nasional Tanggal 2 Oktober, Inilah Sejarahnya
Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga dikenal sebagai “Doktor Batik”, Yan Yan Sunarya, menyampaikan bahwa Batik Sunda juga merupakan kekayaan khas tanah air.
“Sejak abad ke-16, wilayah Sunda telah familiar dengan produksi Batik. Meski banyak ahli mengatakan bahwa Batik Sunda pada awalnya terpengaruh oleh Batik Jawa, namun Batik Sunda memiliki karakter spesifik yang berbeda seiring perkembangan nilai dan budaya Sunda yang memiliki perbedaan dengan Jawa,” pungkas Yan Yan.***