Teks Ceramah Ramadhan 2021: 90 Persen Isi Alquran Soal Muamalah dan Hanya 10 Persen Akidah

- 27 April 2021, 21:04 WIB
H. Aam Munawar (Ketua Komisi Infokom MUI Kabupaten Bandung dan Pengawas PAI Disdik Kabupaten Bandung).
H. Aam Munawar (Ketua Komisi Infokom MUI Kabupaten Bandung dan Pengawas PAI Disdik Kabupaten Bandung). /Istimewa/

JURNAL SOREANG- Syeikh Mahmud Syaltut, mantan rektor Universitas al-Azhar-Cairo Mesir, dalam bukunya Al-Islam; Aqidah  wa syari’ah, membagi Islam ke dalam 2 bagian besar: Akidah dan syariah (hukum). Akidah berkaitan dengan keyakinan atau keimanan, agak sulit untuk direpresentasikan, mengingat objeknya berhubungan dengan hal-hal yang gaib atau suprarasional.

Sementara syariah, berkaitan dengan hukum-hukum, baik ibadah maupun muamalah (hubungan sosial).Dalam penelitian  Prof.DR. Harun Nasution, mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekarang UIN Jakarta, seperti yang disampaikan melalui bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, menemukan kesimpulan, jumlah ayat al-Quran yang berbicara tentang akidah atau pokok-pokok keyakinan tidak melebihi dari 10 persen, sementara sekitar 90 persen justeru banyak berbicara tentang muamalah dengan berbagai dimensinya: ekonomi, budaya, pertahanan keamanan, maupun hukum.

Nampak lah  ajaran Islam memiliki dimensi sosial (muamalah) yang kuat dalam mengatur kehidupan umat manusia di dunia ini. Pemahaman ini masih terjadi simpang-siur di sebagian masyarakat yang disebabkan cara memaknai ayat maupun hadis yang sempit, sepertinya Islam lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat dan menafikan kehidupan dunia.

Baca Juga: Teks Ceramah Ramadhan 2021: Nama Istimewa yang Tersemat di Ramadhan

Pemahaman ini berimbas pada cara pandang sebagian kaum muslimin mengenai definisi saleh. Tidak sedikit yang membatasi pengertian saleh itu hanya dari sisi spiritual dan tidak peduli pada sisi sosial.

Kesalehan diukur oleh ketaatan seseorang terhadap kewajiban-kewajiban yang  bersifat ritual, seperti kepatuhan dalam mengerjakan shalat, membayar zakat, melaksanakan saum, menunaikan haji dan sebagainya. Sementara bagaimana dia berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya terkadang luput dari perhatian.

Sepintas cara pandang seperti ini dianggap sebagai sebuah kebenaran, sehingga orang-orang berlomba untuk memperoleh kedudukan tersebut. Padahal bila dikaji lebih jauh, pemahaman ini berbahaya, karena telah mempersempit makna Islam sebagai rahmatan lil’alamien dan sebagai dien atau sistem perundangan-undangan yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif dan utuh.

Baca Juga: Teks Ceramah Ramadhan 2021: Jangan Kotori Kesucian Ramadhan dengan Petasan

Beberapa tahun yang lalu, Prof.DR. Ahmad Tafsir, dosen senior IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, sekarang UIN Bandung, pernah melontarkan pemikiran yang cukup menghentak kalangan ilmuwan waktu itu. Ahmad Tafsir  berpendapat ibadah haji yang kedua dan seterusnya itu haram.

Banyak doktor dan guru besar hukum Islam yang memandang pemikiran beliau sebagai gagasan yang sesat dan menyesatkan, sebab bila ditinjau dari perspektif fikih (hukum Islam) diskursus  itu tidak ditemukan, yang ada adalah ibadah haji itu wajib untuk yang pertama kali dalam seumur hidup dan sunah bagi yang kesekian kalinya.

Padahal jika ditinjau dari perspektif muamalah, gagasan guru besar filsafat Islam itu ada benarnya, yaitu apabila seorang yang sudah pernah berhaji kemudian bekerja keras untuk memperoleh ongkos berikutnya untuk haji yang berikutnya. Sementara dia membiarkan  tetangganya yang kelaparan, fakir dan miskin juga anak-anak yatim dibiarkan merana dengan kesengsaraan.

Baca Juga: Teks Ceramah Ramadhan 2021, Ramadhan Mampu Membakar Dosa-dosa Kita

Bukankah jika ongkos untuk dia berhaji yang kesekian kali itu diberikan untuk menyantuni mereka, mungkin ada sekian dhu’afa (orang-orang lemah) yang dapat terselamatkan. Bukankah perbuatan itu juga sebuah kebajikan di mata Allah?

Ibnu Asyikin meriwayatkan hadis dari Sahabat Anas, Rasulullah saw bersabda: Bukanlah orang yang baik di antara kalian, orang yang meninggallkan kehidupan dunianya untuk mendapatkan kebaikan di akhiratnya, dan (bukan orang yang baik pula) yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya, sehingga dia mau menyeimbangkan di antara keduanya. Sesungguhnya dunia itu adalah jembatan untuk (mendapat kebaikan) di akhirat”.

Diskusi tentang Islam yang rahmatan lil’alamien ini memang masih terus berjalan, namun sebagiannya sudah menunjukan hasil yang cukup menggembirakan, terbukti sudah semakin banyak generasi muslim dari kalangan santri yang pemikirannya sudah mulai terbuka dan menggelorakan pentingnya mengkaji Islam secara lebih utuh.

Baca Juga: Teks Ceramah Ramadhan 2021, Membedah Tradisi Petasan Saat Ramadhan

Jika Islam dibangun di atas pondasi keseimbangan (equality)¸ maka dapat dipastikan ajaran Islam mengajak umatnya untuk dapat menyeimbangkan antara dunia dan akhirat, antara spiritual dan sosial, dan antara jasmani dan rohani. Termasuk dalam hal ini kewajiban untuk berpuasa.

Puasa (Arab : saum) secara bahasa mengandung arti menahan, yaitu menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam mata hari, bukan hanya melatih spiritual atau rasa keagamaaan, melainkan juga ada sisi pelatihan fisiknya, juga sosial.

Secara sederhana, di saat perut kosong, maka secara otomatis organ pencernaan kita diistirahatkan dari aktifitas rutin yang di hari-hari lain jarang berhenti karena terus mencerna makanan. Ibarat sebuah mesin, pengistirahatan dibutuhkan untuk membuatnya kembali fresh dan semakin optimal untuk mengemban tugasnya kembali di hari berikutnya.

Baca Juga: Teks Ceramah Ramadhan 2021, Muslimin Bisa Sedekah Tanpa Harta Benda

Hormon-hormon pencernaan akan kembali memproduksi zat-zat yang bermanfaat. Hal ini sebagaimana dijanjikan Rasulullah dengan sabdanya Shuumu tasihhu (berpuasalah, niscaya kalian akan sehat). Badan akan dibuat sehat karena berpuasa.

Termasuk sisi sosial. Dalam ibadah puasa umat Islam diajarkan untuk lebih memiliki kepedulian  terhadap sesama. Bukankah di saat kita berpuasa dengan menahan lapar, begitu terasa berat? Jika menahan lapar itu bukan pekerjaan yanng ringan, bagaimana dengan nasib saudara-saudara kita yang hampir setiap hari menahan lapar? Mereka berlapar-lapar bukan karena apa-apa, melainkan karena memang tidak ada sesuatu yang dapat dimakan.

Sudah sepantasnya setiap muslim punya kepedulian terhadap nasib orang-orang yang berkekurangan. Tumbuhkan rasa empati dan kesetiakawanan di tengah-tengah umat Islam, karena kita merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkaan dari kehidupan umat manusia. Inilah sisi lain dari Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam.***

Penulis
H. Aam Muamar, S.Ag., M.Pd. (Ketua Komisi Infokom MUI Kabupaten Bandung dan Pengawas PAI Disdik Kabupaten Bandung)

Editor: Sarnapi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x