Mengenal Filosofi Satu Tungku Tiga Batu di Fakfak

21 Juli 2023, 11:17 WIB
Satu tungku tiga batu di Fakfak /Kemenag

 

 

JURNAL SOREANG – Perbedaan dan keragaman berbagai daerah selalu memperbesar kemungkinan terjadinya konflik. Jika situasi dan orang-orang tidak diatur dengan baik, tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada negara ini.

 

Untungnya, setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam menyikapi keragaman yang ada. Konsep “keunikan adalah keragaman” dapat diwujudkan dengan beberapa slogan lain yang bersifat lokal.

 

Misalnya, di wilayah Fakfak dikenal ungkapan pemersatu yang terkenal, filosofi “Satu Tungku Tiga Batu”, yang mencerminkan toleransi antar umat beragama setempat. Nama Fakfak sendiri berasal dari kata “pakpak”. Yaitu, batu kotak yang ditumpuk. Gambaran ini terdapat di pelabuhan Fakfak, tempat banyak kapal berlabuh.

Baca Juga: Kuburan Tekstil Menggunung di Gurun Atacama Chili 

Fakfak kemudian menjadi identitas asli pribumi. Mereka telah hidup sejak nenek moyang mereka dan identitas serta misi mereka adalah "Marga/Marga" hingga saat ini.

 

Menurut berbagai sumber, pada zaman dahulu masyarakat suku Mbaham Matta (WUH) yang tinggal di Fakfak biasa memasak di atas kompor yang terbuat dari tiga buah batu besar.

 

Batu ini berukuran sama, kuat, kokoh dan tahan panas. Kemudian disusun melingkar sehingga dapat menopang panci atau wajan yang digunakan untuk memasak.

 

Mbaham Matta (WUH) adalah masyarakat adat tertua di Kabupaten Fakfak di Provinsi Papua Barat.

Baca Juga: Tikus juga Punya Jasa pada Manusia, Apa Saja ? 

Satu Tungku Tiga Batu juga merupakan lambang Filsafat Etnis Kehidupan (WUH) karya Mbaham Matta yang artinya “KO, ON, KNO”, Mi Mbi Du Qpona, artinya “Kamu, aku dan dia bersaudara”.

 

 Daerah Fakfak sudah lama dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, termasuk pala. Hal ini menyebabkan banyak pedagang yang singgah di kawasan fakfak untuk berbisnis, termasuk pedagang yang masuk Islam dari Tidore dan Ternate.

 

Penduduk Kabupaten Fakfak saat ini beragam, terdiri dari pemeluk Islam, Katolik, dan Kristen Protestan. Namun dalam implementasinya, toleransi antaragama sangat sempit dan harmonis.  

 Baca Juga: Benarkah Burung Lebih Berwarna di Dekat Khatulistiwa, Teknologi AI Menegaskannya

Sumber: papuabarat.kemenag.go.id

*) Ikuti terus dan share informasi Anda di media sosial Google News Jurnal SoreangFB Page Jurnal SoreangYoutube Jurnal SoreangInstagram @jurnal.soreang dan TikTok @jurnalsoreang –e

 

 

Editor: Drs Tri Jauhari

Sumber: Kemenag

Tags

Terkini

Terpopuler