Eka Santosa luncurkan Podcast ‘Ekatanya’, Pelukis Umar Sumarta: Pejabat Cukup 3 D Aja

- 15 Juli 2021, 16:57 WIB
Di balik layar ppidcst Ekatanya yang digawangi mantan akstua DPRD Jabar, Eka Santosa
Di balik layar ppidcst Ekatanya yang digawangi mantan akstua DPRD Jabar, Eka Santosa /Istimewa/

Khusus untuk gelaran ‘EKATANYA’ ini Koko Odjen, membopong koleksi pribadinya, yang semuanya berwujud oil on canvas, yaitu  ‘Mencari Pemenang’ 2021 (140 X 294 cm); ’Wayang’ (125 X 148 cm); ‘Tarawangsa’ (140 X 90 cm); dan ‘Dewi Sri Menungang Kuda’ (150 X 200 cm).

Menanggapi, apa yang tersirat dan tersurat khusus untuk karyanya ‘Mencari Pemenang’, menurutnya ini dianggap sebagai sindiran atau sudah bukan rahasia umum.

Baca Juga: 500 Seniman dan Budayawan Ikuti Vaksinasi Tahap Kedua, Optimistis Seni dan Budaya Segera Bangkit Kembali

Bila ingin menjadi pejabat di negeri ini, hanya ada 3 D. Pesan moralnya, harus:”Dekat, dukun, dan dulur. Ini pesan untuk 2024, menyongsong pesta demokrasi. Pemenangnya nanti ada yang bermuka bagong, domba, sapi, buaya, tikus dan lainnya. Mereka bermain panco, adu kuat. Tapi yang menang itu Dewi Sri. Tapi setelah mereka menang, mereka itu tetapah bermuka buaya, bermuka babi, dan sebagainya. Nah ini tuh masker, ya masker yang akan datang,” ujarnya sambil menjelaskan motif hampir sejenis karyanya dulu yang di beri judul ’Adu Domba’ – “Artinya, mau jadi pejabat di negeri kita ini harus 3 D ajah !”.

Umar Sumarta sendiri saat  dikepung, dan diberondong  oleh berbagai pertanyaan dari duo host di ‘EKATANYA’ , tampak begitu exiting sepintas seperti berapi-api menjelaskan ‘duduk pekara’ sejumlah karyanya yang sejak era 1970-an hingga kini telah dikoleksi oleh pecinta seni terutama di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan beberaa negara lainnya.

“Saya tak peduli lukisan saya masuk aliran apa. Pokoknya, dulu kata Alm. Pelukis Popo Iskandar dosen saya waktu di IKIP Bandung (sekarang UPI) tahun 1980-an, saya ini disebut pelukis sangeunahna (seenaknya). Berterima kasih atas bimbingan Pak Popo Iskandar kala itu, hingga saya sampai sekarang ini,” terang Umar Sumarta.

 Baca Juga: Terpuruk, Ikon Seni Budaya Jawa Barat Saung Angklung Udjo harus Diselamatkan, Seniman Budayawan Angkat Suara

Masih kata Umar Sumarta dalam cuplikan ‘EKATANYA’ yang berlangsung sekitar 30 menit lebih. Saat kuliah di IKIP Bandung, dirinya malah mondok di kantor.
Ia istilahkan fenomena ini sebagai mahasiswa ‘doktor’ demi menghemat biaya indekost. “Malam hari tidur di ruang kuliah, bangun paling pagi sekali, agar tak diketahui orang,” aku Umar.

Apesnya, tatkala malam hari sebelum tidur di ruang kelas, dirinya sempat bereksperimen membakar bahan plastik untuk cat. Namun apa lacur, aksinya diketahui Pak Popo Iskandar dari balik jendela ruang kuliah. Semalaman, dirinya tak bisa tidur, takut esok habis-habisan dimarahi.

“Yang terjadi, Pak Popo malah memanggil saya ke rumahnya. Umar, ini bawa cat dan kanvas buat kamu. Kalau saya nakal waktu itu, di setiap kanvas bekas itu sudah ada tanda tangan Pak Popo Iskandar. Tindakan pertama saya, tentu menghapusnya. Saat itu pula saya disuruh berhenti membuat potret (menggambar orang) yang sudah dilakoni sejak kecil di desa. Kata Pak Popo, hentikan itu semua, biar Umar bebas jadi pelukis,” terangnya.

Halaman:

Editor: Sarnapi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah