Cacarekan: Sebuah Tradisi Lisan dari Masyarakat Desa Sukakersa, Kabupaten Sumedang

7 Februari 2023, 20:35 WIB
Ilustrasi Cacarekan: Sebuah Tradisi Lisan dari Masyarakat Desa Sukakersa, Kabupaten Sumedang /unsplash/Tyler Morgan/

JURNAL SOREANG - Ketika seorang suami menginginkan istrinya untuk hamil anak perempuan, kemudian dia berjanji seperti ini, upami pun bojo tiasa ngandung budak istri dina taun ayeuna, engke bade meuncit domba saatos orokna lahir, yang memiliki arti, jika istriku hamil anak perempuan tahun ini, nanti akan menyembelih kambing setelah bayinya lahir.

Dalam kehidupan masyarakat di Desa Sukakersa, sebuah janji seperti itu bukanlah hanya sekedar janji biasa. Namun dapat dikategorikan sebagai cacarekan, carek, atau cacarek. Lalu sebetulnya cacarekan itu apa? Simak pembahasan dibawah ini.

Cacarekan merupakan kata dalam bahasa Sunda, yang secara harfiah berarti pakaulan. Yang mungkin banyak orang ketahui semacam nadar, yakni janji pada diri sendiri hendak berbuat sesuatu jika maksud tercapai. Meskipun janji tersebut untuk diri sendiri, namun janji itu terkadang juga diucapkan dengan tujuan agar orang di luar dirinya yang mendengar janji tersebut.

Baca Juga: Setelah Terpilih Jadi Wakil Ketua Umum Apkasi, Berikut yang Akan Disuarakan Bupati Bandung Dadang Supriatna

Bagi masyarakat Desa Sukakersa, cacarekan tidak dapat dianggap sepele. sebab hal ini bukanlah sembarangan kalimat yang diucapkan oleh seseorang. Selain menyangkut hal yang sangat penting, cacarekan juga memiliki dorongan yang kuat bagi yang mengucapkannya untuk dapat memenuhi cacarekan tersebut. Jika ini tidak dapat orang tersebut penuhi, dipercaya bahwa hal itu akan menimbulkan konsekuensi yang tidak baik bagi yang bersangkutan.

Pada dasarnya siapapun bisa dan pernah berjanji pada diri sendiri, baik anak kecil maupun orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Lalu pasti ada janji yang dapat dipenuhi dan ada pula janji yang tidak dapat ditepati sebab satu dan lain hal. Tidak ada orang lain yang mengetahui apa yang sudah dijanjikan kepada diri sendiri.

Oleh karena itu, tidak akan ada tuntutan dari orang lain ketika janji kepada diri sendiri itu tidak terpenuhi. Kalaupun memang ada orang lain yang mengetahui janji tersebut, dia tidak akan peduli jika yang bersangkutan dapat atau tidak dapat memenuhinya.

Baca Juga: Asal Usul Gerak Ngarenggong pada Kesenian Kuda Renggong

Berbeda halnya dengan cacarekan yang dipahami betul makna dan konsekuensi yang ada di dalamnya oleh warga masyarakat Desa Sukakersa. Sebab hal inilah, tidak sembarang orang disana mengucapkan cacarekan. Seseorang biasanya telah menyadari janji yang diucapkannya jika itu termasuk cacarekan sehingga dia memiliki kewajiban untuk menepati janji tersebut.

Selain itu dia juga meyakini akan adanya akibat yang tidak baik yang akan menimpa dirinya jika dia tidak dapat memenuhi janji tersebut. Orang yang mengucapkan cacarekan umumnya orang yang sudah dewasa. Seseorang yang sudah mampu bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya dan atas semua yang diucapkannya, termasuk ketika mengucapkan cacarekan.

Ekspresi dalam Cacarekan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa cacarekan merupakan janji kepada diri sendiri. Oleh sebabnya ekspresinya ini bisa berupa rangkaian kata-kata yang diucapkan di dalam hati sanubari seseorang, atau terucapkan secara langsung dari mulut seseorang.

Baca Juga: Peran Pangatik pada Kesenian Kuda Renggong, Bagaimana Struktur Gerak Tarinya?

Dalam hal ini, tidak ada orang lain yang mendengarkan janjinya tersebut, selain dirinya sendiri. Namun bukan tidak mungkin, dimana pada saat janji itu telah terucap, ada orang lain di sekitar dia yang mendengar janji tersebut. Secara tidak langsung orang tersebut telah menjadi saksi atas janji yang diucapkannya tadi.

Biasanya cacarekan jika diucapkan berupa rangkaian kata-kata dalam bahasa Sunda yang membentuk kalimat dengan pola seperti dibawah ini:

“ Lamun…,engke bakal…”. Artinya, “Jika …, nanti akan….”.

Pola kalimatnya juga bisa dibalik seperti berikut ini:

“Engke bakal…lamun…” Artinya, “Nanti akan…jika…”

Baca Juga: Setelah Terpilih Jadi Wakil Ketua Umum Apkasi, Berikut yang Akan Disuarakan Bupati Bandung Dadang Supriatna

Kata-kata itu akhirnya seakan menjadi kata kunci yang digunakan dalam cacarekan. Meskipun demikian, pilihan kata yang digunakan dalam cacarekan ini ada kalanya berbeda-beda. Namun, kata-kata tersebut tetap memiliki arti yang sama, seperti:

“Upami …, engke bade…” Artinya, “Kalau …, nanti akan…”

Pola kalimat cacarekan bisa juga dibalik seperti ini:

“Engke bade…, upami…” Artinya, ” Nanti akan…, jika ….”

Dalam konteks cacarekan, ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan, dimana hal itu merupakan materi penting yang terkandung dan ada di balik cacarekan, yakni:

  1. Latar belakang munculnya cacarekan
  2. Harapan yang ingin diwujudkan
  3. Janji untuk melakukan sesuatu jika harapan tersebut dapat tercapai dan melepas cacarekan.

Berikut penjelasan detailnya mengenai ketiga aspek penting dalam cacarekan.

Baca Juga: 6 Tips Belajar Bahasa Inggris yang Mudah dan Cepat, No 2 Paling Enak Dilakukan

Latar Belakang Cacarekan

Cacarekan suatu hal yang tidak mungkin dicatatkan dalam hati seseorang. Itu pun sesuatu yang tidak mungkin dapat terucapkan begitu saja dari bibir seseorang. Hal itu sudah pasti memiliki alasan tertentu yang melatar belakanginya.

Itu biasanya berupa suatu kondisi atau peristiwa tertentu yang memang sedang dihadapi seseorang, baik menyangkut dirinya langsung atau tidak langsung. Kondisi tersebut juga berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan yang dianggap penting dan berharga dalam kehidupan seseorang dan juga dalam lingkungan masyarakatnya.

Orang tersebut adalah orang yang sedang menghadapi satu kondisi yang bertolak belakang dengan aspek kehidupan yang dipandang penting dan berharga tadi. Bahkan ini juga ada kecenderungan keadaan tersebut sudah berada di luar batas kemampuan seseorang itu. Dia telah berupaya semaksimal mungkin untuk mengatasinya, namun hasilnya tetap tidak sesuai harapan. Kondisi tersebut yang bisa membuat dia merasa khawatir, sedih, malu, takut, atau kecewa.

Baca Juga: Simak Manfaat Jurnaling Bagi Kesehatan Mental

Beberapa contoh dari keadaan yang bertolak belakang tadi di antaranya sebagai berikut.

  1. Ada seorang bapak yang pernah memiliki cacarekan ketika anaknya jatuh dari pohon. Dia merasa khawatir anaknya menjadi cacat. Padahal anak yang memiliki kondisi fisik yang mulus tanpa cacat sangat penting. Terbukti ketika seorang ibu melahirkan, dia selalu bertanya apakah anaknya mulus tidak kurang suatu apapun.
  2. Ada seorang petani yang pernah memiliki cacarekan ketika sedang berlangsung musim hama. Dia khawatir lahan pertaniannya terancam gagal panen. Padahal panen yang melimpah merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan dia sebagai petani. Namun hal itu tampak dari adanya upacara wuku taun sebagai refleksi rasa syukur masyarakat Desa Sukakersa terhadap hasil pertanian yang mereka selama setahun itu.
  3. Ada seorang suami yang pernah memiliki cacarekan ketika istrinya lama tidak mengandung setelah mereka menikah. Disebabkan keberadaan anak itu begitu penting dan bernilai bagi kelangsungan pernikahannya dan juga di lingkungan masyarakatnya.
  4. Ada seorang ayah yang pernah memiliki cacarekan ketika dia harus bekerja keras membiayai anaknya yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dia mengeluarkan cacarekan ini dengan jika anaknya bisa menyelesaikan pendidikan tinggi. Disebabkan merasa pendidikan itu begitu penting sebagai bekal untuk masa depan anaknya. Selain hal itu pula menjadi seorang sarjana juga bisa menjadi kebanggaan keluarganya, di mata lingkungan masyarakatnya, yang umumnya masih berpendidikan rendah.
  5. Ada seorang ibu yang pernah memiliki cacarekan ketika putrinya belum berjodoh meskipun usianya sudah lebih dari cukup untuk ukuran masyarakat setempat. Cacarekan itu muncul, disebabkan khawatir putrinya menjadi perawan tua.

Gambaran diatas adalah gambaran tentang berbagai kondisi yang dapat menjadi pemicu munculnya cacarekan yang tidak akan terekspresikan langsung dalam rangkaian kata-kata yang tercatat dalam hati maupun yang terucap dari bibir seseorang. Faktor pemicu tersebut hanya ada di balik munculnya ekspresi cacarekan seseorang. Namun, hal itu dapat tertangkap dalam sebuah harapan yang ada dalam kalimat cacarekan.

Baca Juga: Kuda Renggong: Mengenal Sejarah Kesenian Kuda Igel dari Kabupaten Sumedang

Harapan dalam sebuah Cacarekan

Kondisi-kondisi yang telah dijelaskan diatas adalah kondisi yang dapat mampu mendorong seseorang untuk melakukan upaya terakhir dengan berharap akan adanya pertolongan, mujizat, keajaiban, dan atau apapun sejenisnya dimana agar dapat melewati keadaan itu. Seseorang ini berharap akan ada perubahan menuju suatu keadaan yang baik dan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Harapan itu tidak sekadar harapan yang biasa saja. Melainkan harapan yang dicatat dalam hati dan atau diucapkan dalam bentuk lisan, bahkan mungkin juga ada orang lain yang telah mendengarkannya.

Harapan secara eksplisit terdapat pada frase awal atau frase akhir dalam kalimat yang dikategorikan sebagai sebuah cacarekan. Beberapa contoh harapan (sebagai frasa awal) yang muncul dari sebuah keadaan yang telah disebut diatas yakni sebagai berikut:

  1. Ketika ada seorang anak jatuh dari pohon, seorang bapak mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut:
    “Upami pun anak sehat deui sabihara sabihari…” yang artinya adalah “Jika anakku kembali sehat seperti biasa….”
  2. Ketika sedang berlangsung musim hama, ada seorang petani mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut: “Lamun melak pare ayeuna salamet nepi ka panen…” yang artinya adalah “ Kalau menanam padi selamat (tidak terganggu hama) sampai masa panen tiba…”
  3. Ketika ada seorang seorang istri belum hamil saja padahal sudah lama menikah, suaminya mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut: “Upami pun bojo ngandeg,…” yang artinya adalah “ Jika istriku hamil…”
  4. Ketika ada seorang ayah merasa harus bekerja keras membiayai anaknya yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, dia mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata berikut: “Lamun engke budak tamat sakolana…” yang artinya adalah “Jika nanti anaknya bias menyelesaikan sekolah…”
  5. Ketika ada seorang ibu yang khawatir sebab anaknya belum berjodoh, dia mengekspresikan harapannya dalam rangkaian kata-kata kalimat berikut: “upami pun anak kenging jodona…” yang artinya adalah “Kalau anakku mendapat pasangan hidup…’

Baca Juga: Mengurus Anak Bukan Hanya Tugas Ibu, Simak Parenting Nikita Willy dan Indra Priawan

Janji dalam sebuah Cacarekan

Harapan yang terekspresikan dalam suatu cacarekan itu begitu kuat maknanya. Namun kemungkinan harapan tersebut tidak terwujud juga besar adanya. Salah satu cara yang secara psikologis diharapkan dapat mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah dengan menyertakan janji untuk melaksanakan sesuatu tersebut.

Hal ini mengenai tentang jika harapan itu dapat tercapai. Janji tersebut memiliki makna seolah menjadi pelipur lara atas kondisi yang sebetulnya sudah berada di luar batas kemampuan mereka. Janji itu seakan-akan diadakan guna menguatkan harapan mereka tersebut tercapai.

Baca Juga: Simak! Anda Penderita Anemia, Berikut Tips Olahraga yang Perlu Dilakukan Untuk Mengurangi Gejala

Isi janji dalam cacarekan biasanya berupa sebuah niat untuk melaksanakan suatu kegiatan seseorang. Perlakuan/kegiatan yang dijanjikan ini ada yang masih dipandang wajar untuk dilakukan. Namun, tak sedikit pula kegiatan tersebut ada yang memang harus dilakukan itu sangat lain daripada yang lain, kemudian aneh, agak unik, dan atau bisa membuat orang lain tertawa hingga geleng-geleng kepala.

Selain itupun ada pula aktivitas yang harus disertai dengan menyediakan sesuatu yang bersifat materi. Akan hal itu akhirnya diperlukan dana untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Nilai dana yang dikeluarkan pun sangat relatif. Ada yang murah hingga yang mahal.

Dan jika hal tersebut berhubungan dengan dana, umumnya janji yang dilontarkan seseorang tersebut, dalam cacarekan, disesuaikan dengan kemampuan finansial yang bersangkutan. Orang yang tidak mampu secara ekonomi/finansial ini tidak akan membuat janji menyiapkan sesuatu di luar batas kemampuannya.

Baca Juga: Tes Psikologi: Ungkap Bagaimana Karakteristik Kepemimpinan Anda Melalui Gambar yang Terpilih!

Jikalau ada janji yang memiliki nilai yang cukup besar bagi dirinya, itu tetap bisa dipenuhi sekalipun dia harus menabung terlebih dahulu, atau dengan meminjam dulu dengan tetap memiliki kemampuan untuk membayarnya. Jika di luar batas kemampuannya, dia khawatir tidak dapat memenuhi janji tersebut dan akan memberatkannya sampai kapan pun.

Sesuatu yang bernilai kecil bagi orang yang mampu, bisa jadi bernilai besar bagi orang yang tidak mampu. Sebaliknya jika sesuatu yang bernilai besar bagi orang yang tidak mampu, mungkin saja tidak ada artinya bagi orang yang mampu.

Berkenaan dengan nilai janji dalam cacarekan, ada sebuah istilah yakni cacarekan leuleutikan atau cacarekan kecil-kecilan dan cacarekan gede-gedean atau cacarekan besar-besan. Cacarekan leuleutikan menunjuk kepada cacarekan dengan nilai janji yang ada di dalamnya yang dipandang relatif terjangkau.

Baca Juga: Banyak Diketahui! 5 Manfaat Buah Sukun Bagi Kesehatan, Bantu Turunkan Berat Badan Hingga Mencegah Diabetes

Adapun cacarekan gede-gedean menunjuk pada cacarekan dengan nilai janji yang ada di dalamnya relatif sulit terjangkau untuk warga masyarakat pada umumnya. Yang memberi penilaian seperti itu bukanlah yang mengucapkan cacarekan tersebut, melainkan orang lain yang berdasarkan akan ukuran nilai yang berlaku pada masyarakat setempat.

Janji dalam cacarekan secara eksplisit bisa terdapat pada frase terakhir atau frase awal dari kalimat cacarekan. Dibawah ini beberapa contoh akan hal itu, yakni:

Baca Juga: Jelang Pertengahan Februari, 6 Shio Ini Harus Bersiap Diserbu Rezeki Dahsyat,Keuangan Melonjak Tajam,OTW Kaya!

  1. Ketika ada seseorang sulit memiliki anak => upami nani ngandeg, engke bade meuncit domba saatos orokna lahir, yang memiliki arti, jika nanti hamil, nanti akan menyembelih kambing setelah bayinya lahir.
  2. Ketika ada seorang anak sakit terus menerus => upami si bungsu diparengkeun sehat, jaga lamun nyelam bade dipangmeuncitkeun sapi, yang memiliki arti, jika si bungsu sehat, nanti jika dikhitan akan menyembelih sapi.
  3. Ketika ada seorang anak jatuh dari pohon => lamun budak sabihara sabihari deui, engke bapa rek mayungan budak ku bakakak lamun diakadan, yang memiliki arti, jika anaknya tidak apa-apa, nanti bapak akan memegang bakakak di atas kepala anaknya pada saat akad nikah.
  4. Ketika ada petani menghadapi musim hama dalam pertanian => lamun melak pare ayeuna salamet nepi ka panen, engke kuring bakal ngabuceng meuncit sapi, yang memiliki arti, kalau menanam padi selamat sampai masa panen tiba, kelak akan syukuran dengan menyembelih sapi.
  5. Dan yang terakhir, adalah janji yang muncul dalam cacarekan, yang merupakan ekspresi rasa bahagia dan syukur.

Demikian penjelasan mengenai cacarekan, sebuah tradisi lisan dari Desa Sukakersa, kabupaten Sumedang.

Baca Juga: Simak! Rambut Berminyak dan Lepek, Berikut Tips dan Cara Mengatasi

Besar harapan artikel ini dapat memberikan edukasi mengenai tradisi-tradisi daerah di Indonesia, salah satunya sebuah tradisi lisan yang masih banyak dipergunakan oleh masyarakat daerah di Indonesia kini.***

 

Ikuti terus dan share informasi Anda di media sosial Google News Jurnal SoreangFB Page Jurnal SoreangYouTube Jurnal SoreangInstagram @jurnal.soreang, dan TikTok @jurnalsoreang

 

 

Editor: Josa Tambunan

Sumber: Kemdikbud

Tags

Terkini

Terpopuler