Dari.Workshop Literasi Digital Remaja Masjid, Ini Cara Membedakan Fakta dan Hoaks

14 Agustus 2021, 15:59 WIB
Peserta workshop dari Irma Alfathu Soreang mengikuti materi pelatihan pada Sabtu, 14 Agustus 2021. /Sarnapi/JS/

JURNAL SOREANG- Perkembangan teknologi yang pesat di salah satu sisi memudahkan manusia dalam mendapatkan informasi. Namun di sisi lain juga menjadikan mudah untuk menyebarkan informasi yang tak benar atau hoaks.

"Tak semua informasi yang beredar di media sosial adalah fakta," kata penggiat literasi digital, Deni Yudiawan, dalam workshop dan webinar Literasi Digital,  Sabtu, 14 Agustus 2021.

Acara yang mengusung tema Ramatloka (Remaja Masjid Digital Bangun Solusi Sosial) berlangsung selama dua hari (Sabtu-Minggu) tersebut, diikuti remaja masjid dari berbagai daerah di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat.

Baca Juga: Dibully Soal Penangkapan dr Richard Lee, Kartika Putri Tetap Santun Ajak Tabayyun agar Tak Termakan Hoaks

Hadir membuka acara Wagub Jabar Uu Ruzhanul Ulum, dan dihadiri Nick Geisinger sebagai Wakil Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta. Acara kerja sama dengan Kedubes AS berlangsung secara virtual dan hibrid di aula Harian Pikiran Rakyat.

Sedangkan pemateri adalah Deni Yudiawan, Ketua Perhimpunan Remaja Masjid Dewan Masjid Indonesia (Prima DMI) Jawa Barat  Pandu Hyangsewu, Yudha P. Sunandar (guru literasi digital SMP Al Kautsar), Icha Sinaga (penggiat literasi), dan Hazmirullah (Pemred Pikiran Rakyat).

Menurut Deni,  banyak informasi yang beredar di internet  ternyata adalah palsu atau hoaks.

Bahkan berdasarkan data  Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebanyak 1.028 hoaks terkait Covid-19 ditemukan selama Agustus 2020.

Baca Juga: Satu Negara Kena Hoaks Bantuan, Putri Akidi Tio Dijerat Pasal 15 dan 16 UU No. 1 Tahun 1946 Oleh Polda Sumsel

"Informasi palsu ini di antaranya disebarkan lewat pesan berantai, gambar, dan pemberitaan situs abal-abal. Ada juga berita yang diubah judulnya karena mengganti atau menyisipkan judul sangat mudah lalu di-screen shot seakan-akan berita asli," ujarnya

Dia mengatakan,  pengguna media sosial wajib waspada terhadap penyebaran hoaks ini, khususnya lewat sebuah pemberitaan.

"Penting untuk bisa membedakan situs berita asli dan abal-abal agar tidak termakan hoaks.  Sebuah situs pemberitaan biasanya menggunakan domain yang resmi dan terdaftar. Misalnya .com, .co.id, .id, dan sebagainya," ujarnya.

Baca Juga: Hoaks! Satpam Uji Coba Air Keran dengan Alat Swab Antigen dan Hasilnya Positif, Begini Penjelasannya

Selain itu, perhatikan juga nama situsnya sebab kebanyakan situs abal-abal menggunakan nama atau istilah yang bombastis.

"Cara mengindentifikasi sebuah situs bisa lebih jelas lagi dengan mengecek di situs whois yang akan menjabarkan  rinci semua informasi mengenai pembuatan situs," katanya.

 Dia menambahkan, kita juga bisa memeriksa kontak situs  berupa email, alamat kantor, hingga nomor telepon biasa tercantum.

Baca Juga: Perang Melawan Covid-19 Jauh Lebih Berat dengan Maraknya Hoaks, Ini Sikap Terbaik Menghadapi Hoaks

"Situs yang menutupi identitasnya, apa pun kontennya, patut dicurigai sebagai situs berita palsu atau situs penipuan," katanya.

Hal lain adalah memeriksa gambar atau foto karena dengan foto membuat orang cepat percaya dengan sebuah informasi. Padahal foto belum tentu sesuai dengan fakta.

"Untuk menghindari hal tersebut, kita bisa menelusurinya dengan menggunakan beberapa tools. Misalnya Google Image, Yandex, atau TinEye," ujarnya.

Tools tersebut akan menunjukkan semua foto yang sama, sehingga kita dapat mengetahui situs mana yang pertama kali mengunggah foto tersebut.

Baca Juga: Polisi Ringkus Lima Orang Penyebar Hoaks Ajakan Demo PPKM Darurat, Ternyata Ini Motif Pelaku

"Cara lainnya dengan membandingkan sebuah informasi di situs tertentu dengan informasi yang sama di situs lain.  Tentunya, harus membandingkannya dengan berita di situs-situs terpercaya atau mainstream," katanya.

Sedangkan Hazmirullah membahas masalah etika dalam memakai teknologi atau berkomunikasi karena biasanya pengguna media sosial kurang memperhatikan masalah etika ini.

"Tentunya kita harus memahami masalah dan dengan siapa kita melakukan komunikasi. Kalau kirim chat dengan guru atau dosen maupun orang yang lebih tua harus dengan penghormatan," katanya.***

Editor: Sarnapi

Tags

Terkini

Terpopuler