3 Mitos Tentang Pecandu Seks yang Sering Disalahartikan, Harus Ada Diagnosis Khusus Sebelum Memberi Penilaian

19 Agustus 2022, 14:51 WIB
Ilustrasi pecandu seks /Pixabay/Olichel

JURNAL SOREANG - Penggunaan istilah pecandu seks atau kecanduan seksual sering diterapkan dan sayangnya seringkali salah sasaran.

Penting untuk dipahami bahwa didiagnosis dengan segala jenis kecanduan adalah urusan yang serius dan memerlukan perubahan perilaku yang besar pula, apalagi jika hendak menilai seseorang dengan istilah pecandu seks.

Sebelum menganggap seseorang sebagai pecandu seks hanya berdasarkan definisi yang sempit akan hal itu, lihatlah penyebab perilaku seksual secara realistis terlebih dulu.

Baca Juga: 3 Penyebab Kenapa Kebanyakan Orang Miliki Perut Buncit Ketika Menginjak Usia 50 Tahun, No Terakhir Bikin Kaget

Meskipun ada validitas untuk diagnosis kecanduan seksual, perhatikan perlunya mempertimbangkan semua faktor sebelum membuat diagnosis 'si pecandu seks'.

Dilansir dari situs Your Tango, Berikut adalah beberapa mitos umum tentang kecanduan seks yang harus dihilangkan secepat mungkin.

Mitos #1: Masturbasi kronis adalah pecandu seks

Setiap orang memiliki hubungan cinta/benci dengan masturbasi. Tidak dapat disangkal, ini adalah aktivitas yang menyenangkan, tetapi dapat disertai dengan perasaan malu yang mendalam.

Pada usia 2 atau 3 tahun, balita secara alami menemukan daerah genital mereka dan kesenangan berikutnya. Sayangnya, kegembiraan itu seringkali dengan cepat dihilangkan oleh orang tua yang ketakutan dan fobia seks.

Bahkan orang dewasa yang paling tercerahkan dan terpelajar pun salah informasi tentang masturbasi.

Baca Juga: Dua Pemain Persib Bandung Pernah Bobol Gawang PSS Sleman di Stadion Maguwoharjo Namun Sekarang Absen, Siapa?

Banyak orang percaya bahwa masturbasi tidak memiliki tempat dalam konteks hubungan perkawinan, misalnya. Menikah berarti ada persediaan seks yang tidak terbatas.

Seringkali ini sama dengan pemikiran seperti: "Begitu cincin kawin menyentuh jari saya, saya tidak boleh masturbasi dan begitu juga pasangan saya."

Tidak ada jawaban pasti mengenai seberapa banyak atau seberapa harus melakukan masturbasi saat telah menikah. Secara umum, masturbasi tidak akan mengganggu suatu hubungan.

Baca Juga: Adakah Efek Samping dari Jarang Melakukan Hubungan Intim? Begini Penjelasan Menurut Ahli

Faktanya, itu justru sebaliknya. Masturbasi benar-benar tentang pelepasan, sedangkan hubungan seksual adalah tentang ikatan emosional dengan pasangan.

Kedua tindakan ini memberikan hasil yang sama. Ini semua hanya tentang bagaimana Anda melihatnya. Maka jika ada seseorang yang masih melakukan masturbasi padahal ada pasangan, itu merupakan hal yang wajar dan tidak bisa langsung dianggap sebagai pecandu seks.

Mitos #2: Pengamat pornografi adalah pecandu seks

Pornografi telah ada di masyarakat kita selama ribuan tahun. Mengapa? Karena semua orang penasaran.

Seks adalah aktivitas yang sangat pribadi dan secara universal sulit untuk dibicarakan. Pornografi memberi kita kesempatan untuk melihat orang lain bermain. Observasi bersifat mendidik. Ini menawarkan mengintip ke dunia seksualitas manusia.

Baca Juga: Mitos atau Fakta! Pentingkah Ukuran Mr P Untuk Kepuasan Istri Dalam Hubungan Intim? dr Boyke Ungkap Ini

Materi dewasa sangat membantu bagi mereka yang ingin belajar teknik dan mendapatkan ide-ide baru. Ini berguna untuk pria, wanita, dan pasangan yang ingin memperluas cakrawala seksual mereka.

Sebenarnya, segala sesuatu dalam hidup perlu dimoderasi. Terlalu banyak hal bisa menjadi masalah. Tapi melihat gambar dewasa untuk tujuan relaksasi, gairah, dan pendidikan adalah hal yang baik-baik saja.

Kita harus sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah "kecanduan seks" yang mencakup semua itu ketika menggambarkan seseorang yang hanya menikmati dan menonton film porno dalam jumlah terbatas.

Baca Juga: Curi Perhatian di Extraordinary Attorney Woo, Simak Profil dan Biodata Kang Ki Young! Mirip DK SEVENTEEN?

Mitos #3: Fetishis adalah pecandu seks

Fetish seksual berarti seseorang melakukan seksualisasi terhadap objek, tindakan, dan fantasi yang berada di luar norma. Fetish dapat melibatkan penggunaan benda-benda mati hingga bahkan tentang perilaku ritualistik.

Fetish seksual sangat kuat dan tidak pernah hilang; mereka terbentuk sangat awal dalam kehidupan. Penelitian saat ini mendukung fakta bahwa ada kecenderungan genetik terhadap fetish. Dalam hal fetish, kecenderungan genetik dipicu oleh rangsangan lingkungan.

Sayangnya, kebanyakan orang dalam komunitas terapeutik tidak memahami perbedaan antara fetish dan kecanduan seksual. Mereka menganjurkan konsep absolusi: penghentian pikiran, pemblokiran situs web, dan tidak pernah terlibat dalam perilaku fetisistik.

Baca Juga: Simak! Jadwal Siaran Langsung Wakil Indonesia di Kejuaraan Dunia 2022 Badminton di Televisi

Dengan kata lain, mereka memperlakukan fetish dengan cara yang sama seperti mereka memperlakukan kecanduan seksual. Namun, fetish seksual tidak dapat dipertukarkan dengan perilaku seksual yang tidak teratur.

Faktanya, fetish itu sendiri sama sekali tidak ada hubungannya dengan kecanduan seksual dan sebenarnya tidak ada yang memilih untuk memiliki fetish seksual.

Sayangnya, tidak ada pengobatan yang tersedia yang akan menghapus fetish seksual yang mendalam. Sama seperti tidak ada yang bisa "mengubah" seorang gay menjadi straight.
***

Editor: Wildan Apriadi

Sumber: Your Tango

Tags

Terkini

Terpopuler