Beranjak dewasa, Gibran tiba di fase terberat hidupnya. Meski karya pertamanya ‘Spirit Rebellious’ yang ditulis di Boston ini berhasil diterbitkan di New York, tapi karya itu sempat membuat Gibran dikucilkan gereja Maronit lantaran berisi sindiran terhadap koruptor.
Baca Juga: Polisi Tetapkan Lima Tersangka, terkait Kasus Mafia Tanah Nirina Zubir
Nasib malang tak berhenti di situ. Gibran harus kehilangan Ibu kandung, kakak laki-laki, dan adik bungsu perempuannya akibat TBC.
Gibran kemudian hanya tinggal bersama adik perempuannya yang masih tersisa, yang bekerja dan membiayai penerbitan karya-karyanya.
Tapi dari sinilah akhirnya karya-karyanya tak terbendung.
Baca Juga: Terima Paket Sembako, Warga Antusias Ikut Gebyar Vaksinasi di Ciluluk Cikancung Kabupaten Bandung
Gibran singgah ke Paris dan hidup dengan bantuan finansial perempuan bernama Mary Haskell, pengusaha kaya asal Georgia yang juga sempat menjalin hubungan asmara dengannya.
Namun kemudian, Gibran kembali ke New York dan mendirikan studio di sana, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia menulis dan melukis.
Setelah sukses melahirkan karya-karya ternama yang salah satunya berjudul The Prophet atau Sang Nabi, Gibran mendirikan asosiasi ikatan penulis yang bernama Arrabithah Al Alamia untuk merombak kesusatraan Arab pada tahun 1920.
Baca Juga: Dalam Tahap Penyelidikan, KPK Masih Dalami Dugaan Kasus Garong Uang Rakyat Penyelenggaraan Formula E