"Ada beberapa teknologi yang sudah proven yang dikembangkan untuk membantu peningkatan jumlah kapasitas pengolahan limbah ini secara signifikan," tuturnya.
Akan tetapi, pihaknya terlebih dahulu mengkhususkan pada teknologi yang bisa dipakai untuk pengolahan limbah di skala yang lebih kecil dan bersifat mobile.
Teknologi ini, papar Handoko, dapat dimanfaatkan untuk pengolahan sampah di daerah yang memiliki penduduk relatif sedikit dengan skala limbah yang tidak banyak.
Tak dapat dipungkiri, keterbatasan dana menjadi kendala dalam membangun insinerator limbah medis yang besar dan terpusat, termasuk perihal pengumpulan limbahnya.
"Kalau kita harus membangun insinerator besar, itu tentu akan jauh lebih mahal dan juga menimbulkan masalah terkait dengan pengumpulan, karena pengumpulan dari limbah ke insinerator yang terpusat itu juga menimbulkan biaya tersendiri," ungkapnya.
Handoko mengakui bahwa saat ini, sarana pengelolaan limbah medis masih belum merata di seluruh Indonesia.
"Baru 4,1 persen dari rumah sakit yang memiliki fasilitas insinerator yang berizin. Kemudian juga di seluruh Indonesia, baru ada 20 pelaku usaha pengolahan limbah. Dan yang terpenting adalah hampir semuanya itu masih terpusat di Pulau Jawa. Jadi distribusinya belum merata," beber Handoko.
Dengan adanya teknologi pengolahan dan daur ulang limbah yang dikembangkan BRIN ini, Handoko berharap dapat membantu fasilitas layanan kesehatan dalam pengolahan limbah medis.