Tauziah di Masjid Azam Bandung : Komunikasikan Ketakwaan Secara Persuasif,

- 22 Juli 2023, 07:10 WIB
Komunikasikan rasa takwamu secara persuasif
Komunikasikan rasa takwamu secara persuasif /Pixabay

 

 

JURNAL SOREANG – Kepada umatnya Islam mengajarkan untuk tunduk hanya kepada Allah SWT. Tunduk dan patuh, serta mengikuti perintahNya, itulah ketakwaan.

 

Makna bertakwa itu ada dua, yaitu menjalankan hal-hal yang diperintahkan untuk dilakukan, dan menjauhi hal-hal yang dilarang untuk dilakukan.

 

Sering kita dengar ungkapan yang ‘menjauhi laranganNya’ tentu pengertiannya kurang atau bahkan tidak tepat. Larangan itu tidak untuk dijauhi, tetapi dilaksanakan, apapun bentuknya. Sedangkan yang dijauhi, yaitu hal-hal yang dilarang.

Baca Juga: Gaya KH Ma’ruf Khozin Berdakwah Melalui Facebook 

Setiap muslim, setelah selesai dengan dirinya sendiri, berkewajiban untuk ‘mendakwahkan’ dua hal tersebut. Melakukan untuk diri sendiri, meyakini kebenarannya hingga merasuk ke dalam hati, dan kemudian menjelma menjadi tindakan dan sikap-perilaku sehari-hari, adalah hal pertama dan utama.

 

Setelah itu baru menyeru, memanggil, dan bahkan mengajak orang lain untuk merenungi-mengikuti-meniru-mentaati seruan itu. Dengan kata lain, memantaskan diri sendiri dulu agar pas untuk contoh dan panutan, itu modalnya. Sebelum kemudian nekat ‘berjualan’.

 

Sudah pasti ini tidak mudah. Terlebih bagi para dai-guru-ustaz-kyai-ulama dan pengkhotbah agama yang ‘fisabilillah’-nya entah-entah, yang meragukan dan/atau bahkan yang disalah-gunakan.

Baca Juga: 900 Santri Ikuti Tradisi Muwadaah di Pondok Pesantren Al Falah Bandung 

Bagaimana mungkin orang lain percaya kata-katanya, bila sipenyeru di podium-di mimbar-di ruang publik, maupun di depan ruang kelas/kuliah, tidak mampu melakukan apa yang dianggapnya baik? Pun tidak sanggup menghindari apa yang dianggapnya buruk?

 

Kutipan dari Rasulullah ‘katakan dariku meski hanya satu ayat’ menyasar pada dua pihak sekaligus: yaitu para penyampai serta obyek dari suatu penyampaian. Pendeknya, pihak pertama dengan kedua, pihak kedua dengan ketiga, dan untuk semua. Dari lingkup terkecil (keluarga), masyarakat, kota, hingga negara, bahkan dunia. 

Baca Juga: Pesantren Al Falah Bandung Jadi Unggulan Bentuk Santri Penghafal Al Qur'an yang Menjauhi Maksiat

‘Dakwah’ pun diutarakan dengan dilandasi dua hal, pertama cara menyampaian lemah lembut, kedua isi/materi yang disampaikan proporsional-kontekstual. Keduanya harus singkron, didalami dulu ilmunya. Secara konvensional saja, atau menggunakan media mutakhir, termasuk media online/sosial.

 

Lalu tentang isinya mengenai Al Qur’an dan Sunnah, diperluas dengan wawasan, dengan segenap ilmu pendukung. Bila belum cukup mumpuni dalam dua hal itu maka seorang pendakwah dikhawatirkan terjebak pada sikap ashabiyyah.

 

Sikap demikian dimaknai sebagai tidak mampu berkomunikasi secara persuasif, cenderung fanatik pada golongan sendiri, mudah berburuk sangka pada pihak lain, bahkan suka memaksakan kehendak dan merasa paling benar sendiri.

Baca Juga: Haedar Nashir Ingin Umat Islam Tumbuh Jadi Konglomerat 

Rasulullah pun pernah diingatkan Allah, bila suatu kebenaran telah disampaikan maka soal hasil sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Jangan memaksa, apalagi dengan menggunakan kekerasan, merasa diri dan kelompoknya paling benar, dan seterusnya.

 

Bila hati sudah tersentuh, ketika kombinasi antara kecerdasan akal-emosional-spiritual telah terbuka, maka tak sulit seseorang menerima kebenaran. Hidayah yang datang. Dan hanya Allah SWT yang mampu membolak-balikan hati manusia. 

 

Uraian ihwal dakwah dan ketakwaan di atas disampaikan Ketua DKM Masjid Azam Drs. H. Fatikhin, M.Ag dalam tausiah 10 menit selepas salat Subuh berjemaah, di Jalan Cigadung Raya Timur, Bandung, pada Ahad (17 April 2022).

Baca Juga: Mengenal Filosofi Satu Tungku Tiga Batu di Fakfak 

Berbagai peristiwa di dalam negeri, maupun berbagai belahan dunia lain saat ini, dapat kita cermati menggunakan cara pandang di atas. Terkait kata ashabiyyah, referensi lain menyebutkan jenis-jenisnya.

 

Larangan nabi adalah Ashabiyyah Jahiliyyah, yang sekarang dinamakan chauvinis nationalism, seperti halnya nazi Jerman pada 1933-1945 yang beranggapan Jerman di atas segalanya.

 

Akan tetapi Ashabiyyah Jinsiyyah yang sekarang dinamakan nasionalime, tidak ada larangan sama sekali. (Ada pula) Ashabiyyah Islamiyyah yaitu semangat nasional yang dijiwai oleh Islam, tidaklah dilarang. Berjuang dengan semangat patriotik, cinta dan bangga kepada tanah air, adalah disuruh oleh Nabi. Wallahu a’lam. ***

 

 

*) Ikuti terus dan share informasi Anda di media sosial Google News Jurnal SoreangFB Page Jurnal SoreangYoutube Jurnal SoreangInstagram @jurnal.soreang dan TikTok @jurnalsoreang –e

 

 

Editor: Drs Tri Jauhari

Sumber: UIN Sunan Kalijaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah