Pengalaman Ramadhan Rektor Unfari: Didoping Makan Siang Lalu Puasa Lagi Sampai Buka

- 14 April 2021, 11:35 WIB
Rektor Unfari Dr. HM Didin Muhafidin
Rektor Unfari Dr. HM Didin Muhafidin /Sarnapi\JS/

JURNAL SOREANG- Tiap Ramadhan menjadi berkah tersendiri. Apalagi menjadi anak dari keluarga besar yang mengelola masjid sehingga menjadi keberkahan tersendiri bagi Rektor Universitas Al-Ghifari (Unfari), Didin Muhafidin (51).

"Saya lahir dan besar  di Desa Kedungjati, Kecamatan Bukateja,  Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Saya dibesarkan di lingkungan yang cukup religius sebab ayah  H. Padmo Sumaryo menekankan anak-anaknya harus berpuasa sejak kecil," kata Didin, saat dihubungi, Senin, 12 April 2021.
 
Didin yang juga dosen Unpad mengisahkan kembali pengalaman puasa Ramadhan sejak kelas satu SD sekitar tahun 1979. "Saya mulai latihan puasa sejak kelas 1 SD dan  saat itu teman-teman sebaya juga mulai latihan berpuasa. Puasa terasa sangat berat adalah pas tengah hari apalagi Purbalingga merupakan daerah panas," ujarnya.
 
Untuk menyiasati hal ini, Didin 
berupaya mengurangi  panas dan rasa haus yang luar biasa dengan mandi di sungai. "Saat itu sungai masiih bersih sekali.  Pas mandi sekaligus menyelam di dalam air secara tidak sengaja atau pun sengaja minum air. Seperti peribahasa sambil menyelam minum air, maka selesai mandi di sungai badan sudah segar kembali," katanya sembari tertawa.
 
Meski sudah mandi sekaligus  minum air sungai, tapi Didin masih merasakan lapar sehingga ketika pulang ke rumah langsung mendatangi ibunya.
 
 
 
"Ibu saya Hj. Amirah sangat peka terhadap anaknya termasuk saya yang ingin batal puasanya. Biasanya saya  langsung dipanggil ke kamar untuk makan siang," katanya.
 
Setelah didoping dengan makan siang, maka Didin melanjutkan puasanya kembali sampai maghrib. "Dalam satu bulan yang tidak batal puasanya hanya  10 hari, sedangkan 20 hari hanya mampu puasa setengah hari," katanya.
 
Namun, setahun kemudian  Didin  sejak kelas 2 SD sudah bisa menjalankan puasa sebulan penuh. "Cara agar gak batal puasa dengan ngabuburit yakni mancing ikan atau belut. Karena sungai masih jernih sehingga  ikan dan belut masih banyak," katanya.
 
 
 
Didin masih ingat perasaannya yang sangat bangga apabila pulang ke rumah sebelum azan magrib sambil membawa belut. "Hasil mancing belut atau orang Sunda menyebutnya ngureuk langsung dimasak oleh ibu untuk buka puasa bersama di rumah. Begitu terasa nikmat dengan lauk hasil mancing sendiri," katanya.
 
Momentum  yang menggembirakan biasanya pas tarawih terutama 10 hari terakhir sebab biasanya di masjid disediakan makan besar. "Karena pak de saya yang membangun masjid  dan  imam masjid, maka saya selalu mendapatkan  makanan yang paling enak," ujarnya.
 
Selain itu, masa paling menggembirakan lagi yaitu ketika menjelang hari Raya Idul Fitri ketika Didin dan kakaknya  selalu ditugasi orangtuanya mengantar makanan untuk saudaranya. "Saya selalu di kasiih uang oleh saudara-saudara orang tua saat antar makanan,"  kata Didin yang juga pengurus di Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) Jabar dan Banten ini.***

Editor: Sarnapi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x