Klaim tanah itu didasarkan pada Eigendom Verponding, bukti kepemilikan tanah yang berlaku pada era Hindia Belanda. Namun, aturan pertanahan peninggalan kolonial itu sudah lapuk atau kadaluwarsa.
Di antaranya, ditandai terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Tanah bekas Eigendom yang tidak dikonversi ulang otomatis dinasionalisasi menjadi tanah yang dikuasai negara. Dalam hal ini, termasuk tanah sengketa di Dago Elos-Cirapuhan.
D. Tanah Dago Elos Milik Warga
Dalam putusan Kasasi pada 2019, majelis hakim menilai, klaim Eigendom Verponding keluarga Muller tidak berkekuatan hukum karena sudah berakhir dan tidak dikonversikan paling lambat 24 September 1980.
Baca Juga: Rekomendasi Tempat Nongkrong Kekinian di Dago Pakar Bandung Menjelang HUT RI ke 78
Majelis hakim mendasarkan putusannya sesuai Kepres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, serta Permendagri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.
Dengan demikian, tanah Elos dinyatakan tanah yang dikuasai negara. Keluarga Muller atau PT Dago Inti Graha dinilai tidak berhak mengklaim, selain alas hak Eigendom Verponding kadaluwarsa, mereka pun tidak menempati atau menguasainya secara langsung.
Sebaliknya, yang lebih berhak atas tanah Elos adalah warga, sebab terbukti menguasai atau menempati tanah sejak lama. “Telah terbukti Para Tergugat sudah menguasai objek sengketa dalam kurun lama, terus menerus dan sebagian sudah diberikan sertifikat hak milik, penguasaan mana patut dan adil untuk diberikan hak milik atau diberikan hak prioritas untuk memohon hak atas tanah,” dikutip dari salinan putusan Mahkamah Agung.