Tari Ronggeng Gunung: Seni Tari Tradisional dari Dusun Padaherang, Pangandaran

- 14 Februari 2023, 22:26 WIB
Tari Ronggeng Gunung: Seni Tari Tradisional dari Dusun Padaherang
Tari Ronggeng Gunung: Seni Tari Tradisional dari Dusun Padaherang /Tangkapan layar youtube Ame Damai Studio/

 

JURNAL SOREANG - Banyak sekali keterangan mengenai asal – usul dari ronggeng gunung itu sendiri. Tetapi dari sekian banyaknya keterangan – keterangan itu, mempunyai induk yang sama yakni menggambarkan ronggeng gunung itu berdasarkan tempat hidup kesenian tersebut yaitu di daerah pegunungan atau dataran tinggi.

Menurut narasumber yakni bapak R. Devi Setiawiguna pada wawancara, pimpinan lingkung seni Ketuk Tilu (Ronggeng Gunung) Baranang Siang mengatakan bahwa asal - usul ronggeng gunung itu memiliki beberapa referensi, namun jika diikuti jejaknya dari jaman para wali hingga kerajaan - kerajaan terdahulu yang ada bahwa ronggeng gunung itu yakni hadir atau tercipta oleh Sunan Bonang untuk penyebaran agama islam.

Jika Sunan Kalijaga menyebarkan agama islam dengan menciptakan wayang golek, namun Sunan Bonang menyebarkan agama islam dengan menciptakan ronggeng gunung.

Baca Juga: Kuasa Hukum Keluarga Brigadir J Sebut Ferdy Sambo Layak Divonis Mati, Ini Alasannya

Pada dahulu kala, yang ingin menonton pagelaran ronggeng gunung yakni harus mengucapkan kalimat 2 kalimat syahadat, sehingga secara tidak sadar dan tidak dipaksakan mereka yang menonton ronggeng gunung ini masuk agama islam.

Fungsi dari ronggeng gunung itu sendiri berubah seiring berjalannya waktu. Menurut narasumber, bapak R. Devi Setiawiguna menyebutkan bahwa, dulunya ronggeng gunung itu sendiri digunakan untuk penyebaran agama islam, sekarang menjadi hanya untuk hiburan para warga di daerah padaherang, pangandaran saja, termasuk sudah mulai dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan. Seperti yang pernah dipertunjukan pada Taman Budaya Dago Bandung pada hari Minggu, tanggal 13 oktober 2018.

Yang dimana digelarkan hanya 2 jam saja yakni dari jam 20.00 hingga jam 22.00, sehingga sudah dipersingkat. Pada aslinya, waktu pertunjukan dari ronggeng gunung itu sendiri yaitu satu malam suntuk.

Baca Juga: Tes Kepribadian : Pilih Satu Gambar yang Buat Anda Merasa Takut, Pilihanmu akan Menunjukkan Hal Ini

Penerus untuk ronggeng gunung itu sendiri dulu hanya boleh oleh keturunan dari ronggeng gunung itu sendiri. Kemudian, yang menjadi ronggeng gunung harus yang masih cawene atau perawan, tetapi seiring berjalannya waktu dari mana pun yang hoyong tiasa atau ingin bisa boleh menjadi ronggeng gunung.

Kemudian fungsi sesajen sangat penting dalam pagelaran ronggeng gunung sendiri. Seperti yang dikatakan bapak R. Devi Setiawiguna bahwa,

“bilih aya nu kadupak sajabina, jadina kedah sasadu, hiji ngenta widi bade ngagandengan didieu, abi sakulawarga sareng sarombongan, atos kitu bakar menyan, sanes henteu percanten ka pangeran, sanes, da teu aya deui nu kudu dipigusti iwal ti pangeran, da teu kenging dipigusti kedah dipupusti, mung ieu mah ngan sakadar menta widi wungkul,”

Baca Juga: Apakah Isra Miraj 2023 Termasuk Hari Libur Nasional? Cek Isi SKB 3 Menteri terbaru!

Memiliki arti bahwa, sesajen disini menjadi salah satu simbol syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga syukur kepada para karuhun terdahulu, selanjutnya untuk pengungkapan menta widi atau minta izin kepada mahluk - mahluk yang ada di daerah tempat pagelaran ronggeng gunung itu sendiri. Isi sesajen itu sendiri adalah kopi manis, kopi pahit, teh manis, teh pahit, bakal pisambeuleun (yakni: bawang merah, cabe, gula, garam), bunga 3 rupa (yakni: kenanga, rose, kantil).

Alat musik dari ronggeng gunung sendiri yakni ada tiga waditra, yakni kendang, goong, dan bonang. Pada jaman dahulu, menurut narasumber yakni bapak R. Devi Setiawiguna menyatakan bahwa, ketuk nya itu sendiri terbuat dari batok kelapa yang dilaras dan kendang nya itu sendiri terbuat dari kai kulé atau lamé.

Menurut narasumber bapak R. Devi Setiawiguna mengenai struktur penyajian dari ronggeng gunung itu sendiri menyatakan bahwa, Struktur pagelaran dari ronggeng gunung itu sendiri yakni seperti berikut; bubuka (ada tiga point, tetapi ini disakralkan), kemudian dilanjut dengan kidung, kemudian baksa, ngainstrenan atau masihan kahormatan kanu nu gaduh maksad, sesudah itu ibing sadayana yang dimana para penarinya menari menggunakan sarung.

Baca Juga: Perintah Gubernur Jabar Ridwan Kamil; 1 PNS Menjadi Orang Tua Asuh 1 Anak Terpapar Stunting

Sarung sendiri disini simbol maung, yakni ronggeng gunung ini sangat disukai orang pakuan, padjadjaran.***

 

 

Ikuti terus dan share informasi Anda di media sosial Google News Jurnal SoreangFB Page Jurnal SoreangYouTube Jurnal SoreangInstagram @jurnal.soreang, dan TikTok @jurnalsoreang

 

Editor: Josa Tambunan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x