JURNAL SOREANG- Belum lama ini viral di medsos soal selebaran berjudul 'Gadai Sawah Adalah Riba'. Isi dari artikel tersebut intinya mengharamkan praktik menggadaikan sawah dengan si penerima gadai memanfaatkan sawah tersebut. Tulisan itu diakhiri dengan kutipan bahwa dosa terkecil dari riba adalah bagaikan berzina dengan ibu kandun.
"Artikel tersebut dilengkapi berbagai dalil dari hadis-hadis, di antaranya ucapan sahabat Fudlalah bin `Ubayd dari Sunan al-Bayhaqi, V/573, Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba," kaya Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bandung, KH. Harry Yuniardi, saat dihubungi, Selasa 23 Maret 2021.
Tulisan itu juga mengutip hadis daif dari Sunan Ibn Majah ْ yang artinya: “Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan jangan menerimanya”.
"Kemudian ucapan sahabat Abdullah bin Salam dari Sahih Bukhari, yang maknanya pabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak, maka janganlah menerimanya, karena itu riba," ujarnya
Sepintas seperti sudah selesai, bahwa menggadaikan apa pun, jika penerima gadai menerima manfaat dari barang gadaian maka dihukumi riba.
Baca Juga: Sawah Pendidikan Bisa Jadi Multifungsi untuk Edukasi dan Wisata
"Namun sayang, beragama itu tidak sesederhana copy-paste sebuah dalil. Untuk mengeluarkan muatan hukum dari sebuah dalil, diperlukan seperangkat alat supaya hukum tersebut clear dan clean serta tidak berbenturan dengan dalil lainnya, sehingga tampak rancu," katanya
Di sini lah pentingnya orang belajar agama secara komprehensif sebelum menyampaikan sebuah hukum kepada masyarakat. Hadis "ballighu 'anniy walaw ayah" (sampaikan dari ku meski satu ayat), sangat tidak tepat dijadikan sebuah justifikasi perilaku tersebut karena jelas beda konteks.
"Persoalan menerima manfaat dari barang gadai, sebenarnya jika sedikit saja mau meluangkan waktu untuk membaca buku-buku lain perihal kaidah fikih yang menjadi salah satu piranti untuk mengeluarkan hukum, atau mau membaca penjelasan hadis dari syarah-syarahnya, maka kesimpulan yang dikeluarkan tentu akan berbeda," katanya.
Baca Juga: Fraksi PKS Sebut UU Cipta Kerja Telah Rugikan Petani dan Melahirkan Rezim Impor
Melalui bukunya tentang kaidah fikih, Imam Jalaluddin al-Suyuthiy menjelaskan sebuah kaidah "adat yang sudah turun-temurun menjadi sebuah kebiasaan".
"Dalam penjelasannya, mayoritas ulama berpendapat bahwa adat tersebut kalau sudah menjadi kebiasaan di sebuah daerah, maka tidak dimaknai sebagai syarat jadinya riba dari sebuah manfaat/kelebihan pembayaran atas piutang. Itu apabila manfaat/kelebihan pembayaran tersebut disyaratkan di awal perjanjian, sedangkan apabila tidak disyaratkan maka tidak menjadi masalah," katanya.
Bahkan Nabi SAW. dalam sebuah kesempatan pernah menyuruh Bilal utk membayar utang pembelian kuda kepada Mu'adz dengan memberi tambahan.
Baca Juga: Tolak Rencana Impor Beras 1 Juta Ton Tahun 2021, Kebijakan ini Merugikan Petani Saat Panen Raya
Baca Juga: Dorong Potensi Petani di Sukabumi, Anggota DPR Fasilitasi Pelatihan Pertanian
"Sehingga berdasarkan kaidah tersebut, barang gadaian yg diambil manfaatnya oleh penerima gadai, atau tambahan pembayaran utang yang diberikan secara sukarela oleh yabg berhutang, bukanlah riba menurut pendapat yg lebih benar alias halal hukumnya. (Al-Asybah wa al-Nazha'ir, 151)," katanya.
Hal ini ditegaskan pula oleh Imam Ibn Hajar al-'Asqalaniy saat menjelaskan ucapan Abdullah bin Salam, bahwa manfaat yg diambil dari piutang diangap sebagai riba hanya apabila adanya manfaat itu disyaratkan oleh yang memberi hutang. (Fath al-Bariy syarh Shahih al-Bukhariy, VII/131).
"Jadi kalau menbayar kelebihan disyaratkan pada awal perjanjian, maka bisa termasuk riba. Misalnya, saya gadaikan sawah senilai Rp10 juta, tapi kamu harus membayar Rp15 juta saat akan membayar kembali gadai," katanya.***