GAWAT !!! Bukan Perang, Ternyata Kelangsungan Hidup Manusia Terancam karena Sperma

- 1 Maret 2021, 16:50 WIB
Ilustrasi sperma.
Ilustrasi sperma. /Pixabay /Geralt

JURNAL SOREANG - Selain perang dan pandemi, jumlah sperma yang turun menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia di masa depan. Demikian peringatan

Kelangsungan hidup manusia dalam 30 tahun ke depan akan terancam. Bukan karena perang atau pandemi sebuah penyakit, berkurangnya populasi manusia akan berkurang akibat turunnya jumlah sperma.

Seorang ahli epidemiologi terkemuka, Shanna Swan mengatakan, krisis kesuburan akan menjadi ancaman global terbesar dalam setidaknya 30 tahun mendatang. Hal ini dipaparkannya dalam buku barunya yang provokatif, Count Down: How Our Modern World Is Threatening Sperm Counts.

Baca Juga: Rencana Belajar Tatap Muka di Tahun Ajaran Baru Disambut Gembira Kalangan Pendidikan

Menurutnya, jumlah sperma yang turun bisa menjadi ancaman sebesar krisis iklim.

Swan, ahli epidemiologi lingkungan dan reproduksi Icahn School of Medicine, Mount Sinai, New York ini juga pada tahun 2017, mengungkapkan, jumlah sperma di seluruh dunia telah turun lebih dari setengahnya selama empat dekade terakhir. Penurunan masih akan berlanjut dalam beberapa dekade mendatang.

Saat ini hanya sekitar 1,9 persen dari semua bayi yang lahir di Amerika merupakan hasil teknologi reproduksi buatan. Namun tahun 2050 semua akan berubah.

Baca Juga: Bertabur Bintang! Super Junior Hingga Rapper Jessi Siap Guncang K-Pop di Maret. Daftar Mereka Tampil Maret Ini

Ia memperkirakan, saat itu sebagian besar orang di seluruh dunia tidak akan bisa hamil tanpa bantuan teknologi akibat penurunan jumlah sperma di seluruh dunia.

Ada banyak penyebab ketidaksuburan, tetapi Swan menyebut bahan kimia rumah tangga ftalat atau pthalates sebagai penyebab utama.

Phthalates ada dalam segala jenis produk. Di antara fungsinya adalah membuat plastik menjadi lentur, memungkinkan kulit menyerap lotion dan membantu menyempurnakan kemasan makanan seperti plastik elastis dan plastik kedap udara.

Baca Juga: Link LIVE STREAMING dan Prediksi Liga Spanyol, Real Madrid vs Real Sociedad, Kesempatan Besar Los Blancos

Tapi pthalates merembes dari kemasan ke dalam makanan hingga memasuki tubuh dan berdampak bahaya karena mengganggu sistem endokrin yang mengontrol hormon, termasuk testosteron.

Swan dan banyak ilmuwan lain percaya hal tersebut menjadi pendorong utama penurunan jumlah sperma.

Studi tahun 2017 seperti dilansirkan galamedianews dalam artikelnya "287 Miliar Perempuan Takkan Bisa Hamil, Bukan Perang Nuklir Kelangkaan Sperma Ancam Eksistensi Manusia di 2060" dari Dailymail, menunjukkan penurunan mengejutkan dalam jumlah sperma terutama pria di nagara Barat.

Baca Juga: Link LIVE STREAMING dan Prediksi Liga Spanyol, Real Madrid vs Real Sociedad, Kesempatan Besar Los Blancos

Pria yang memiliki jumlah sperma di bawah 15 juta per ml atau 39 juta per ejakulasi berisiko menjadi tidak subur. Demikian fakta Mayo Clinic, meskipun bentuk dan motilitas - atau pergerakan - sperma juga penting.

Satu dari tujuh pasangan di AS juga diperkirakan tidak subur. Sedangkan secara individu, sekitar sembilan persen pria diperkirakan sudah tidak subur pada 2018, demikian perkiraan terbaru CDC. Jumlah itu jauh lebih banyak dari penelitian Swan tahun 2017.

Swan menemukan jumlah sperma di antara pria Barat turun hampir 60 persen antara tahun 1973 dan 2011. Rata-rata, jumlah sperma menurun sedikit lebih dari satu persen setiap tahun.

Baca Juga: Komisi Hukum dan HAM MUI Minta Presiden Cabut Perpres Legalisasi investasi Miras

Dengan tingkat penurunan tersebut, persentase pria yang tidak subur saat ini sekitar 12 persen. Dan jika tren berlanjut, tahun 2050 41 persen pria di dunia akan mandul.

Sebagai gambaran jika warga dunia saat ini tujuh miliar maka dalam perkiraan Swan tak kurang dari 287 miliar penduduk Bumi harus menjalani prosedur bayi tabung.

Dengan jumlah sperma dan kualitas yang menurun, sebagian besar populasi akan terpaksa menggunakan teknologi reproduksi berasistensi (ART).

Baca Juga: Semakin Memanas! Persaingan Drama The Penthouse 2 dan Vincenzo, Kim Seo Yeon dan Song Jong Ki Saling Susul

“Jadi dengan penurunan jumlah sperma dan kualitas air mani, termasuk penurunan kesuburan dan fakta bahwa jika jumlah sperma pria benar-benar rendah, maka satu-satunya pilihan adalah menggunakan teknologi alat bantu reproduksi jika ingin memiliki keturunan,” papar Swan.

Penelitiannya menunjukkan penurunan jumlah sperma telah terjadi sejak tahun 1973, tapi terkait skala cakupannya tak terdokumentasi dengan baik.

Yang pasti phthalates mulai ditemukan pada 1920-an dan mulai tersedia secara komersial pada 1931.

Baca Juga: Malam Ini! Bawakan Tema Idol Love Song, Top 7 Indonesian Idol Siap Tampil Habis-habisan untuk Top 6

Awalnya phthalates digunakan untuk PVC, plastik yang keras tapi elastis dan produk seperti pengusir serangga. Sejak itu penggunaannya mengalami ledakan.

Kini produk kecantikan termasuk sampo, cat kuku, pembalut wanita, lantai kayu imitasi dari vinil, kantong infus, minyak, deterjen, dan kemasan makanan ikut menggunakannya.

Selain itu, obesitas dan kurang olahraga ikut memengaruhi kesuburan baik pria maupun wanita.

Baca Juga: Siap Tampil Spektakuler Dengan Tema Idol Love Song, Ini Bocoran Lagu Top 7 Indonesian Idol Malam Ini

Lebih jauh phthalates disebut Swan mengganggu sirkuit antara dua bagian otak dan organ reproduksi wanita atau hipotalamus dan kelenjar pituitari, bagian otak yang mengatur hormon dan gonad, testis pada pria atau ovarium pada wanita.

Sirkuit ini mengontrol umpan balik yang menghasilkan hormon seks dan reproduksi sekaligus membantu mengaturnya.

Apa pun yang mengacaukan sumbu ini akan menurunkan kadar hormon seks, termasuk testosteron dan estrogen. Jika efeknya kuat atau cukup bertahan, maka dapat mengganggu reproduksi.*** (Mia Fahrani/galamedianews)

Editor: Sam

Sumber: Galamedianews


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x