Umay, seorang warga berusia 65 tahun dari desa Rawa Cina, salah satu daerah yang terkena dampak terparah dan diklasifikasikan sebagai zona merah di bawah undang-undang tata ruang yang baru, mengatakan orang-orang di lingkungannya terbagi mengenai apakah akan mencabut diri mereka sendiri.
“Mereka yang setuju (dengan relokasi) merasa sudah saatnya memulai awal yang baru di tempat yang lebih aman. Orang-orang yang tidak setuju adalah para petani. Mereka punya sawah di sini dan lokasi relokasi jauh dari sini, ”Umay, yang menggunakan satu nama, mengatakan kepada media.
Pemerintah berjanji bahwa warga yang direlokasi akan tetap memiliki properti mereka. “Mereka hanya bisa menggunakan lahan untuk menanam pohon tanaman yang akan membantu menstabilkan tanah dan bukan padi atau jagung seperti yang terjadi hari ini,” kata Asisten Sekda Cianjur Toyib.
Warga Cijedil Sukmana juga merasa campur aduk soal relokasi. Di satu sisi, pindah berarti meninggalkan desa tempat tinggal keluarganya selama beberapa generasi dan perjalanan jauh untuk sampai ke sekolah dasar tempatnya mengajar.
Di sisi lain, dia kehilangan semua yang dimilikinya. Akibatnya, keluarganya yang beranggotakan empat orang tinggal di tempat penampungan darurat yang terbuat dari bambu dan terpal bersama dengan pengungsi lainnya di sebidang tanah kosong hanya beberapa meter dari tempat desanya dulu berdiri.
Hidup sebagai pengungsi itu sulit, katanya. Dinginnya tak tertahankan di malam hari dan dia khawatir tendanya yang tipis akan bocor di tengah hujan atau roboh karena angin kencang.
“Karena sangat dekat dengan garis patahan, kita juga bisa merasakan gempa kecil dari waktu ke waktu. Jika saya dipindahkan setidaknya keluarga saya akan berada di lokasi yang jauh lebih aman,” katanya.***
Ikuti terus dan share informasi Anda di media sosial Google News Jurnal Soreang , FB Page Jurnal Soreang, YouTube Jurnal Soreang , Instagram @jurnal.soreang dan TikTok @jurnalsoreang