Berdasarkan pengamatan di lapangan ternyata keberadaan kartu tani tidak lantas membantu petani untuk mendapatkan akses yang lebih berkeadilan ke pupuk bersubsidi yang sudah menjadi hak mereka.
"Padahal program kartu tani ini sudah mulai di programkan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian sebagai sebuah terobosan kebijakan untuk memudahkan petani mendapatkan akses kepada pupuk bersubsidi," katanya.
Baca Juga: Penyaluran Pupuk Bersubsidi Terus Bermasalah, Ini Solusi Ampuh dari Anggota DPR
Namun hampir 5 tahun berjalan keberadaan kartu tani justru menjadi polemik berkepanjangan.
“Program kartu tani ini sudah berjalan kurang lebih lima tahun namun keberdaannya bukan menjadi solusi tapi justru menambah persoalan baru dalam rantai distribusi pupuk bersubsidi,” ujar Slamet.
Sejatinya program kartu tani ini memang sudah mendapatkan banyak kritikan baik melalui beberapa penelitian ilmiah maupun pada tatanan implementasinya di lapangan.
Sejumlah permasalahan yang mencuat adalah ketidaksiapan infrastruktur khususnya jaringan internet di daerah, ketidaksiapan jejaring kios yang bisa menerima penggunaan kartu tani dan adanya kewajiban saldo minimum dalam kartu tani yang cukup memberatkan petani dalam upaya penggunaan kartu tani tersebut.
Baca Juga: Terkendala Masalah Data, Program Pupuk Bersubsidi dan Kartu Tani Perlu Dievaluasi
Slamet meminta kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan kartu tani atau kalau perlu menghentikan program tersebut karena dianggap hanya merupakan pemborosan anggaran saja.
Menurutnya, saat ini pemerintah telah mencetak dan mengedarkan 15 juta kartu tani dengan harga Rp20 ribu perkartu artinya akan tersedia anggaran sekitar Rp300 miliar yang bisa dihemat untuk dialihkan ke pembangunan sarana-prasarana pertanian seperti irigasi atau ke program-program lain yang menstimulus produktifitas petani ***