“‘Pembekuan waktu’ dimulai dalam keseketikaan expose fotografi, siaran langsung televisi, dan kini fenomena real-time. Melalui ‘pembekuan waktu’, semua waktu baik masa lalu, masa kini dan masa depan menjadi di- masakini-kan—dengan menghilangkan makna urut-urutan, durasi dan perubahan historisnya,” ucapnya.
Waktu kronoskopik mendorong hadirnya masyarakat kronoskopik. Ekologi virtual (virtual ecology) adalah jejaring 24 jam waktu tanpa jeda, yang dihuni tanpa henti oleh para browser, googler, blogger, youtuber, facebooker, gamer, atau hacker.
“Inilah ekologi non-linier, non-historis dan cut-and-paste, yang di dalamnya setiap orang dapat menangkap “snapshot” tertentu dari kehidupan yang berlari kencang, yang dibiasakan dengan model berpikir ‘diringkas’ dan ‘dipadatkan (bahasa Twitter, WhatsApp),” katanya menegaskan.
Krisis global sejak 2007 memuncak pada pandemi Covid 19 tahun 2020. Ini ditandai oleh stagnansi atau regresi proses integrasi global, baik dalam sector ekonomi (produksi, perdagangan, finansial) dan non-ekonomi (politik, sosial-budaya (pendidikan, hiburan, olah raga, ritual keagamaan).
Baca Juga: Ditjen Dikti Akan Jadikan Startup Digital Sebagai Mata Kuliah Wajib Mahasiswa
Tidak seperti krisis-krisis lainnya, yang episentrumnya adalah ekonomi dengan dampak-dampaknya yang menyebar pada keseluruhan ekonomi dan sosial, krisis Covid 19 melingkupi secara simultan dan saling berkaitan semua dimensi kehidupan sosial dan ekonomi. Ia lebih seperti sebuah perang dunia ketimbang krisis ekonomi.
Work from Home (WFH) sama artinya mengembalikan non-place ke place yg sebenarnya. Lockdown dan WFH ‘ketak-bertempat-an (place) ke “tempat” (place).”
Work From Home adalah tempat bagi para ‘pemukim’ atau ‘sedentari’ yang menikmati bekerja, belajar, meriset, dan menikmati aneka hiburan secara online. "Di dalamnya justeru terjadi percepatan atau aselerasi dunia kehidupan (acceleration of life)," katanya. ***