Di Era Dromologi Saat Ini, Akademisi Harus Berikan Pemahaman Kredibilitas Informasi kepada Kaum Milineal

- 14 Juni 2021, 13:25 WIB
Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, MA pada Kuliah Umum (Eminent Lecture) Satu Dasawarna Ilmu Komunikasi FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang digelar secara virtual, Senin 14 Juni 2021.
Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, MA pada Kuliah Umum (Eminent Lecture) Satu Dasawarna Ilmu Komunikasi FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang digelar secara virtual, Senin 14 Juni 2021. /Istimewa/

“Berbeda dengan era modernitas yang digerakkan oleh prinsip produksi dan era modernitas-lanjut (late-modernity) yang ditegakkan oleh prinsip konsumsi, merujuk Virilio, era postmodernitas ditegakkan oleh prinsip dromologi. Logika dromologi menuntun untuk menjadi yang tercepat, yang pertama, dan yang terdepan,” ujarnya.

Ia menjelaskan melalui perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi batas-batas fisik dunia melebur. Ini juga karena ada kesepakatan internasional dan bilateral, khususnya terkait perdagangan global.  

“Dunia kian menjadi sebuah tempat tak berbatas (borderless place), meskipun secara administratif dan politis masih ada batas-batas, seperti keimigrasian (paspor, visa), karena alasan keamanan dan keselamatan manusia,” ujarnya menguraikan.

Baca Juga: Demi Mempercepat UMKM Jabar Go Digital, Ridwan Kamil Gandeng Shopee dalam Membuka Shopee Center

Penemuan elektro-magnetik, lanjutnya, menciptakan “medan” keserempakan dalam relasi manusia, sehingga keluarga-keluarga kini hidup di dalam semacam “desa dunia” (global village).

“Kita hidup di dalam ruang tunggal, layaknya di sebuah desa.   Hidup di sebuah desa, kita mengenal, terhubung, terkoneksi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan setiap orang tanpa ada sekat pembatas, dan dapat dilakukan dengan instan dan segera (real time),” kata Yasraf.

Sedangkan di ranah virtual yang serba cepat, kata Yasraf Amir Piliang, waktu pun berubah menjadi ‘waktu kronoskopis’. Waktu tidak dibangun sekuensi, melainkan oleh “exposure”, yakni istilah fotografi untuk menjelaskan proses ‘menembakkan’ cahaya agar dapat dihasilkan gambar foto.

 Baca Juga: Apa Kata Dunia Bila Guru Masih 'Gaptek'? Digital Jadi Keniscayaan

“Masa kini intensif (intensive present), yang ditimbulkan kecepatan gelombang elektromagnit tidak lagi menunjuk pada waktu kronologis yakni masa lalu, masa kini dan masa depan,  tetapi waktu chronoscopic: underexposed-exposed-overexposed”,” ujarnya menguraikan.

Fenomena simultanitas waktu adalah bentuk ‘pembekuan waktu’ (time freezing), yang seharusnya berupa ‘urut-urutan’ kini dihadirkan secara simultan di dalam ‘ruang-waktu-teknologi’.

Halaman:

Editor: Sarnapi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x