Di Era Dromologi Saat Ini, Akademisi Harus Berikan Pemahaman Kredibilitas Informasi kepada Kaum Milineal

- 14 Juni 2021, 13:25 WIB
Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, MA pada Kuliah Umum (Eminent Lecture) Satu Dasawarna Ilmu Komunikasi FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang digelar secara virtual, Senin 14 Juni 2021.
Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, MA pada Kuliah Umum (Eminent Lecture) Satu Dasawarna Ilmu Komunikasi FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang digelar secara virtual, Senin 14 Juni 2021. /Istimewa/

 JURNAL SOREANG-  Era Dromologi yang saat ini terjadi dalam kehidupan manusia, terutama di ranah digital atau virtual mengharuskan para akademisi untuk berkolaborasi memberikan pemahaman kepada generasi milenial.

Pemahaman itu terutama menyangkut aspek kredibilitas dan autentisitas informasi yang mereka dapatkan.

Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, MA pada Kuliah Umum (Eminent Lecture) Satu Dasawarna Ilmu Komunikasi FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang digelar secara virtual, Senin 14 Juni 2021.

Pada kuliah umum bertauk “Pandemi Covid-19: Dromologi Kebudayaan dan Deselerasi Kehidupan” itu hadir Dekan FPIPS Dr. Agus Mulyana, MHum, Kaprodi Ilkom FPIPS UPI Ahmad Fachrul Affandi, dan undangan lainnya.

Baca Juga: Prof. Cecep Darmawan: Guru Ideal Harus Melek Digital dan Relijius, Ini Kriteria Lainnya

Dalam paparannya, Yasraf Amir Piliang yang juga dikena sebagai filsuf dan pemerhati kebudayaan menjelaskan bahwa dromologi adalah konsep yang diperkenalkan seorang filsuf Prancis Paul Virilio.

“Menurut Virilio, kebudayaan dewasa ini digerakkan oleh logika dan obsesi akan kecepatan. Virilio menyebutnya sebagai era dromologi,” ungkap penulis buku Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme ini.

Dromologi, kata Yasraf berasal dari bahasa Yunani, “dromos” yang artinya berlari kencang dan “logos” yang artinya semesta pengetahuan. Secara sederhana, dromologi berarti semesta berpikir yang digerakkan oleh prinsip kecepatan.

Baca Juga: Bertranformasi menjadi Smart City, Kang DS: Tingkatkan Ekonomi Digital lewat Jaringan 5G Telkom University

“Berbeda dengan era modernitas yang digerakkan oleh prinsip produksi dan era modernitas-lanjut (late-modernity) yang ditegakkan oleh prinsip konsumsi, merujuk Virilio, era postmodernitas ditegakkan oleh prinsip dromologi. Logika dromologi menuntun untuk menjadi yang tercepat, yang pertama, dan yang terdepan,” ujarnya.

Ia menjelaskan melalui perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi batas-batas fisik dunia melebur. Ini juga karena ada kesepakatan internasional dan bilateral, khususnya terkait perdagangan global.  

“Dunia kian menjadi sebuah tempat tak berbatas (borderless place), meskipun secara administratif dan politis masih ada batas-batas, seperti keimigrasian (paspor, visa), karena alasan keamanan dan keselamatan manusia,” ujarnya menguraikan.

Baca Juga: Demi Mempercepat UMKM Jabar Go Digital, Ridwan Kamil Gandeng Shopee dalam Membuka Shopee Center

Penemuan elektro-magnetik, lanjutnya, menciptakan “medan” keserempakan dalam relasi manusia, sehingga keluarga-keluarga kini hidup di dalam semacam “desa dunia” (global village).

“Kita hidup di dalam ruang tunggal, layaknya di sebuah desa.   Hidup di sebuah desa, kita mengenal, terhubung, terkoneksi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan setiap orang tanpa ada sekat pembatas, dan dapat dilakukan dengan instan dan segera (real time),” kata Yasraf.

Sedangkan di ranah virtual yang serba cepat, kata Yasraf Amir Piliang, waktu pun berubah menjadi ‘waktu kronoskopis’. Waktu tidak dibangun sekuensi, melainkan oleh “exposure”, yakni istilah fotografi untuk menjelaskan proses ‘menembakkan’ cahaya agar dapat dihasilkan gambar foto.

 Baca Juga: Apa Kata Dunia Bila Guru Masih 'Gaptek'? Digital Jadi Keniscayaan

“Masa kini intensif (intensive present), yang ditimbulkan kecepatan gelombang elektromagnit tidak lagi menunjuk pada waktu kronologis yakni masa lalu, masa kini dan masa depan,  tetapi waktu chronoscopic: underexposed-exposed-overexposed”,” ujarnya menguraikan.

Fenomena simultanitas waktu adalah bentuk ‘pembekuan waktu’ (time freezing), yang seharusnya berupa ‘urut-urutan’ kini dihadirkan secara simultan di dalam ‘ruang-waktu-teknologi’.

“‘Pembekuan waktu’ dimulai dalam keseketikaan expose fotografi, siaran langsung televisi, dan kini fenomena real-time. Melalui ‘pembekuan waktu’, semua waktu baik masa lalu, masa kini dan masa depan menjadi di- masakini-kan—dengan menghilangkan makna urut-urutan, durasi dan perubahan historisnya,” ucapnya.

Baca Juga: Tekan Penyebaran Covid-19, UNJANI Serahkan Alat Transfer Pasien Bertekanan Negatif untuk RS Kebon Jati

Waktu kronoskopik mendorong hadirnya masyarakat kronoskopik. Ekologi virtual (virtual ecology) adalah jejaring 24 jam waktu tanpa jeda, yang dihuni tanpa henti oleh para browser, googler, blogger, youtuber, facebooker, gamer, atau hacker.

“Inilah ekologi non-linier, non-historis dan cut-and-paste, yang di dalamnya setiap orang dapat menangkap “snapshot” tertentu dari kehidupan yang berlari kencang, yang dibiasakan dengan model berpikir ‘diringkas’ dan ‘dipadatkan (bahasa Twitter, WhatsApp),” katanya menegaskan.

Krisis global sejak 2007 memuncak pada pandemi Covid 19 tahun 2020. Ini ditandai oleh stagnansi atau regresi proses integrasi global, baik dalam sector ekonomi (produksi, perdagangan, finansial) dan non-ekonomi (politik, sosial-budaya (pendidikan, hiburan, olah raga, ritual keagamaan).

Baca Juga: Ditjen Dikti Akan Jadikan Startup Digital Sebagai Mata Kuliah Wajib Mahasiswa

Tidak seperti krisis-krisis lainnya, yang episentrumnya adalah ekonomi dengan dampak-dampaknya yang menyebar pada keseluruhan ekonomi dan sosial, krisis Covid 19 melingkupi secara simultan dan saling berkaitan semua dimensi kehidupan sosial dan ekonomi. Ia lebih seperti sebuah perang dunia ketimbang krisis ekonomi.

Work from Home (WFH) sama artinya mengembalikan non-place ke place yg sebenarnya. Lockdown dan WFH ‘ketak-bertempat-an (place) ke “tempat” (place).”  
Work From Home adalah tempat bagi para ‘pemukim’ atau ‘sedentari’ yang menikmati bekerja, belajar, meriset, dan menikmati aneka hiburan secara online. "Di dalamnya justeru terjadi percepatan atau aselerasi dunia kehidupan (acceleration of life)," katanya. ***

Editor: Sarnapi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x