Mengenal Peristiwa Gedoran Depok dan Sejarah Depok yang Terpisah dari Hindia Belanda

18 Agustus 2023, 14:32 WIB
Peristiwa Gedoran Depok. /Twitter @neohistoria_id

 

JURNAL SOREANG - Sebelum kota Depok menjadi kota seperti saat ini, Depok merupakan suatu daerah yang punya pemerintahan sendiri layaknya negara Vatikan atau San Marino di Italia pada jaman Hindia Belanda. Ketika usia negara Indonesia mendekati dua bulan, masyarakat sekitar melakukan aksi penjarahan, pembunuhan, dan pelecehan seksual. Apa yang menyebabkan mereka melakukan tindakan yang disebut Gedoran Depok? Bagaimana akhir dari permasalahannya?

Dikutip Jurnal Soreang dari channel YouTube Indonesia Insider yang diupload pada 27 April 2023, pasca pengumuman Kemerdekaan Republik Indonesia, orang Depok melakukan pertemuan di Gedung Ebenezer Depok untuk menentukan nasibnya. Seperti yang disampaikan sebelumnya, Depok dahulu adalah sebuah daerah yang punya pemimpinnya sendiri layaknya negara Vatikan atau San Marino di Italia saat ini. Depok menganggap dirinya bukan bagian dari Indonesia sejak 1714 atau hampir 250 tahun yang lalu sebelum Proklamasi dikumandangkan.

Dahulu, Depok memiliki sistem pemerintahan sendiri yang langsung dinaungi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Depok didirikan oleh seorang tuan tanah asal Belanda, Cornelis Chastelein. Daerah pemerintahan negara Depok ini disebut tanah Partikelir Depok. Pengajuan Pemerintahan Negara Depok ini disetujui oleh Pemerintah Belanda di Jakarta dan menunjuk Chastelein sebagai kepala negara Depok.

Baca Juga: Guru DiBully Puluhan Siswa di Maluku Tengah, Kunci Motor Diambil dan Disoraki di Tengah Lapang

Beberapa bulan sebelum meninggal, Chastelein menulis beberapa wasiat yang diperuntukkan pada keluarga dan budak-budaknya. Dan wasiatnya ditulis dalam buku Wasijat-nja. Tidak hanya membagikan harta dan warisan kepada keluarganya, Chastelein juga memerdekakan budaknya. Budak-budak ini akan terbagi menjadi 12 marga utama yang nantinya dikenal sebagai orang Belanda Depok.

Orang Belanda Depok memiliki gaya hidup mewah ala Eropa dan menggunakan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-harinya. Para budak ini berasal dari berbagai suku yang sbeagiannya sudah menikah dengan orang Belanda dan memiliki darah campuran atau darah Indonesia.

Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, mereka berunding di Gedung Ebenezer Depok untuk memutuskan apakah negara Depok ini bergabung ke pangkuan Indonesia atau tidak. Hasil dari perundingannya adalah Depok tidak mau bergabung dengan Indonesia. Menolaka bergabung dwngan Indonesia ini yang menyebabkan kerusuhan dan penjarahan yang dikenal sebagai Gedoran Depok.

Baca Juga: Detik-detik Jembatan Gantung Putus Saat Rayakan Hari Kemerdekaan, Korban Luka-luka hingga Patah Kaki

Masyarakat yang tergabung dwbgan laskra-laskar dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) menyerbu dan memporak-porandakan Depok. Wenri Wanhar dalam buku Gedoran Depok Revolusi Sosial Di Tepi Jakarta 1945-1955 menyebut orang Belanda di negara Depok diisolasikan dengan tidak dibiarkan membeli bahan pokok atau sehari-hari. Pada 9 Oktober 1945, lima keluarga yang bekerja untuk otsng Belanda dirampok oleh segerombolan orang. Esoknya, penjarahan besar-besaran terjadi dengan melibatkan banyak orang. Selain penjarahan, pembunuhan dan pelecehan seksual juga terjadi layaknya kejadian Mei 1998.

Saat itu, orang Belanda Depok itu dianggap memihak Belanda. Orang yang mengaku-ngaku sebagai pejuang Republiken menganggap sah jika hidup orang Belanda Depok dibuat sengsara. Rumahnya dijarah, barang pribadinya dirusak, hingga merusak jendela dan pintu rumah Belanda Depok karena disangka menyimpan harta karun. Kasus Gedoran Depok ini bukan hanya sebatas kebencian terhadap kaum Republiken kepada orang Belanda Depok karena menolak bergabung dengan negara Indonesia. Tetapi juga kecemburuan sosial masyarakat kala itu karena masyarakat Depok yang hidupnya mewah.

Masyarakat Depok saat itu telah menerapkan gaya hidup mewah dan kelas atas ala Eropa. Hal ini yang memicu kecemburuan sosial bagi orang lain. Karena mereka masih menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa sehari-harinya membuat pergolakan masyarakat di luar Depok. Gedoran Depok ini terjadi bersamaan dengan periode 'Masa Bersiap' bagi orang Belanda. Istilah 'Masa Bersiap' merujuk pada seruan 'Bersiap' dari Republiken ketika ada tentara Sekutu atau tentara Belanda yang akan melintas.

Baca Juga: Masih Berlaku Pasca 17 Agustus! 7 Promo Makanan dan Minuman di Berbagai Resto, Diskonnya Mantap!

Masa Bersiap meruapakan masa yang kelam karena penuh tindak kekerasan dan kriminal. Kekcauan revolusi Indonesia termasuk kejadian Gedoran Depok ini bikin posisi Indonesia tercoreng di mata dunia. Di dunia luar, Indonesia dianggap tidak becus karena tidak bisa mengendalikan ketertiban umum dan mengendalikan orang senjata yang kerap kali berperilaku secara emosional.

Peristiwa Gedoran Depok ini melibatkan beberapa tokoh pejuang seperti Margonda dan Tole Iskandar. Saat itu, Margonda adalah pemimpin tentara Angkatan Udara Republik Indonesia dengan pangkat Letnan Muda. Sesangkan Tole Iskandar adalah Laskar Rakyat Depok dengan pangkat Letnan Dua.

Dalan kejadian Gedoran Depok, peran Margonda sangat penting. Malam sebelum kejadian Gedoran Depok, Margonda sempat menjadi penengah untuk orang Belanda Depok dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ia berhadapan langsung dengan Urip Sumoharjo, pimpinan TKR saat itu. Namun proses mediasi ini mentok karena pihak TKR dan masyarakat luar Depok menilai orang Belanda Depok sama dengan penjajah.

Penyerangan orang Belanda Depok oleh TKR ini berlanjut. Saat itu, TKR berhasil mengusir tentara NICA untuk sementara. Menurut Margonda, peristiwa Gedoran Depok bikin masyarakat dan pejuang saat itu tercerai-berai, seharusnya mereka harus bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena inilah tentara NICA kembali menyerbu dan menguasai Depok dengan membawa pasukan Sekutu dengan tujuan membebaskan orang Belanda Depok yang ditawan oleh TKR. Singkat cerita, tentara NICA berhasil mengusir TKR dan membebaskan orang Belanda Depok, terutama tawanan wanita dan anak-anak yang diungsikan ke Kedunghalang, Bogor Utara, Kota Bogor. Selain itu, tentara NICA berhasil merebut markas TKR dan menjadikannya sebagai markas.

Baca Juga: Hyundai Motors Indonesia Serahkan 346 Unit Mobil IONIQ 5 dan IONIQ 6 untuk ASEAN Summit ke-43

Di bulan November 1945, para tentara dari TKR yang tercerai-berai kembali bersatu dan berencana untuk merebut Depok kembali dari tentara NICA. Serangan yang merupakan terbesar yang dilakukan TKR dilakukan pada 16 November 1945. Serangan perebutan ini dipimpin oleh Margonda yang pada akhirnya gugur karena ditembak tentara Inggris saat melempar granat ke pasukan Sekutu. Nama Margonda diabadikan di salah satu jalan yang bernama Jl. Margonda Raya.***

 

 

Ikuti terus dan share informasi Anda di media sosial Google News Jurnal SoreangFB Page Jurnal SoreangYouTube Jurnal SoreangInstagram @jurnal.soreang, dan TikTok @jurnalsoreang

 

Editor: Josa Tambunan

Sumber: YouTube Indonesia Insider

Tags

Terkini

Terpopuler