JURNAL SOREANG - Sebelum pandemi melanda dunia, tiga orang seniman kawakan, Setiawan Sabana, Arsono (pematung) dan Abdul Djalil Pirous berdiskusi unuk kembali mengadakan Festival Istiqlal berikutnya, tapi kendalanya tempatnya terlalu jauh, belum lagi mencari sponsor dan akhirnya pandemi Corona melanda dunia.
Tapi Kang Wawan (Prof. Setiawan Sabana) tak patah arang, dia Guru Besar Seni Rupa ITB ini kembali menggagasnya bersama Arsono melibatkan AD Pirous serta Hilman Sapriadi (Ketua Pelaksana) untuk menggagas Festival Istiqlal dalam bentuk baru.
Maka lahirlah Pameran bertajuk “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara” yang digelar dari tanggal 27 Oktober – 9 November 2020.
Baca Juga: Hewan pun Butuh Nutrisi Terukur dan Seimbang untuk Hidup Sehat
Pameran Virtual ini berhasil mewadahi 90-an peserta dari seluruh Nusantara termasuk seniman dari negeri tetangga.
Pameran “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”, judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95 sebuah pameran besar, festival kebudayaan Indonesia bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave, kala itu.
Dalam pameran akbar ini Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Di sini juga digelar yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Baca Juga: Hihi. Dari Kotoran Telinga Bisa Ungkap Tingkat Stres Anda
Secara keseluruhan di sini yang tampil tidak hanya seni rupa, tapi tari, teater, dsb, begitu juga dalam Kembang Kertas akan diisi oleh penari, penyanyi, penyair, perupa, dsb.
Melihat animo peserta melebihi yang diharapkan dan terciptanya pengganti Festival Istiqlal, Sang Maestro Kertas yang sudah melanglang buana ke seantro dunia ini, tentu saja merasa terharu, dengan terbata-bata dan sedu-sedan bersimbah air mata dia mengomentari acara yang digagasnya.
“Saya terharu, tapi bukan hanya oleh kreativitas masing- masing yang saya kira itu pasti selalu menetas pada seorang seniman, tapi keharuan saya kepada bagaimana tidak mudahnya selama ini kita bisa jalan-jalan ke Nusantara baik semasa atau selama masa pandemi ini," kata Kang Wawan.
Baca Juga: Bawaslu Terima Kembali Laporan Pengaduan Dugaan Pelanggaran Pemilukada 2020 Kabupaten Bandung
Kang Wawan menambahkan, pameran dalam bentuk virtual ini memberi kesempatan kepada kita bersilaturahim dalam konteks kenusantaraan lewat seni, dan mestinya hal ini menjadikan kita semua warga nusantara punya keinginan yang kuat untuk memberikan semangat pada kebudayaan, seni dan kesenimanan Nusantara dan menyebarkan keharumannya hingga ke Asia Tenggara, Asia bahkan dunia.
Dengan masih tersedu, Kang Wawan mengatakan, kita selama ini dipengaruhi dunia tapi lupa punya Nusantara.
"Mulai saat ini saya mulai dari diri pribadi ingin menjadikan Nusantara ini sabagi markas besar untuk kita berkreasi menuju kemajuan negeri ini, Indonesia negeriku tercinta, “ kata Kang Wawan.
Baca Juga: Miris. Kalau Anda Minum Obat, 90 Persennya Bahan Import
Religiusitas di sini, kata Kang Wawan, tentu saja melibatkan semua keyakinan yang ada dan diakui di Nusantara sebagai keberagaman dengan perbandingan peserta Islam 80-90% sedangkan peserta yang beragama lainnya 20 orang.
Festival Istiqlal dalam bentuk baru ini menghadirkan juga para pembicara dalam public lecture seperti Dr. Acep Iwan Saidi(Kang AIS), Prof.Dr.Ignatius Bambang Sugiarto, Prof. Dr. Rudy Harjanto, M.Sn, Dr. Sirajuddin. Dr.Opan Syafari Hasyim, Dr. Djulijati Prambudi, M.Sn, dan Dr. Wawan Gunawan, S.Sn.Mn., (Wawan Ajen) dan peserta seminar bertemakan keagamaan ini sudah tercatat ada 90 dari seluruh Nusantara ditambah Malaysia dan Philipina.
Dan seperti biasa, dalam pameran sekarang pun, Kang Wawan menggelar pameran tunggal, sebagai ruh pameran, kali ini judulnya “Di Atas Langit Ada Kertas” sedangka peserta yang lain mengelar pameran dengan judulnya masing-masing yang mengacu pada tema besar “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Baca Juga: Kabar Baik: BLT BPJS Gaji di Bawah Rp5 Juta Berlanjut Tahun Depan
Sementara AD Pirous dalam sambutannya mengatakan, jauh sebelum pandemi Covid-19 mencengkram, saudara Setiawan Sabana berkunjung ke rumah sekedar ngobrol aneka topik ringan, mulai dari hal kampus Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB hingga perkembangan seni (seni rupa) yang kian terpengaruh oleh teknologi / media baru.
“Kami ngobrol di Ruang Studio Lukis di Serambi Pirous,“ kata AD.
Tidak terlalu diatur-atur pembicaraan beralih ke topik seputar Festival Istiqlal 1 (1991) dan Festifal Istiqlal 2 (1995).
Baca Juga: Ini Alasan Presiden China Belum Beri Ucapan Selamat Kepada Joe Biden
Singkat cerita, waktu itu tergagas untuk mengadakan Festival Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam versi baru – semangat baru.
Berbekal diskusi tentang “Festiva Istiqlal” itu, AD lantas menghubungi Arsno, pematung senior yang semasa Festival Istiqlal terlibat penuh.
"Maka terjadilah diskusi lebih lanjut sebagai upaya untuk merealisasikan event tersebut. Akhirnya persiapan ke arah itu menjadi serius sehingga muncul judul pameran seperti yang sudah saya sebutkan, “ tutur AD.
Baca Juga: Doa Agar Diberi Hikmah di Balik Masalah
Tapi Konsep filosofisnya, kata AD, bukan lagi Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam, tapi mengakomodasi perupa-perupa dari berbagai keyakinan agama, untuk merefleksikan keberadaan nafas-nafas keagamaan dalam berkesenian.
“Salut kepada para penggagas dan tim panitia yang berhasil mempersiapkan pameran Virtual ini. Semoga cita-cita mulia ini dapat membangun satu nafas kesenian yang berakar pada keyakinan beragama yang saling hadir dengan damai di rantau Nusantara. Semoga pameran berjalan sukses hingga selesai, “ pungkasnya.***