JURNAL SOREANG - Tarawangsa adalah jenis kesenian masyarakat agraris tradisional yang berasal dari kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Dalam pertunjukannya, kesenian ini memiliki kekhasan dalam hal instrumen musiknya, yaitu menggunakan sebuah alat musik yang dimainkan dengan cara digesek.
Secara etimologi,Tarawangsa berasal dari tiga gabungan kata, yakni Ta – Ra – Wangsa. Ta merupakan akronim dari kata Meta berasal dari bahasa Sunda yang berarti pergerakan, lalu Ra berarti api yang agung sama dengan arti Ra dalam bahasa Mesir analogi api yang agung adalah matahari. Dan yang terakhir Wangsa sinonim dari kata Bangsa, manusia yang menempati satu wilayah dengan aturan yang mengikatnya. Sehingga Ta-Ra-Wangsa berarti kisah kehidupan bangsa matahari.
Dengan kata lain, Tarawangsa merupakan sebuah kesenian penyambutan bagi hasil panen padi. Ini disebabkan tumbuhan padi adalah tumbuhan yang sangat bergantung pada matahari yang dimana dianggap sebagai simbol rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tarawangsa merupakan ensemble kordofon, atau alat musik dawai yang sumber bunyinya berupa ruang resonator, yang terdiri dari dua alat musik. Alat musik pertama dinamakan tarawangsa itu sendiri, dan dimainkan dengan cara digesek dan alat musik kedua dinamakan jentreng dimainkan dengan cara dipetik.
Bentuk alat musik Tarawangsa ini sangat memiliki perbedaan yang signifikan dengan alat musik gesek lainnya, seperti rebab. Resonator tarawangsa terbuat dari kayu berleher panjang dengan jumlah dawai antara 2 sampai 3 utas. Tarawangsa Pangguyangan ini tidak jauh berbeda dengan tarawangsa Sumedang, namun dari segi panjangnya leher, serta motif ukiran yang menghiasi bagian kepala jelas sekali berbeda. Jumlah kawat yang digunakan tarawangsa Pangguyangan berjumlah dua, tetapi setelah diselidiki lebih dekat ternyata tarawangsa Pangguyangan pada masa lalu menggunakan tiga kawat, dan itu masih terlihat dari lubang untuk pureut (pemutar kawat) nya.
Kata tarawangsa termuat dalam kitab-kitab kuno abad ke-10 yang ditemukan di Bali. Kata tarawangsa dapat ditemukan dalam literatur tersebut dengan sebutan kata lain, yakni trewasa dan trewangsah. Bahkan pada masa itu kesenian tarawangsa ini sudah hidup pada masyarakat Sunda, Jawa dan Bali. Namun seiring perkembangan jaman, kini bekas maupun artefak dari alat musik ini sudah tidak ditemukan lagi. Bahkan masyarakatnya pun sudah tidak lagi mengenal alat musik tersebut terutama di wilayah Jawa maupun Bali. Argumen tersebut muncul dari catatan Jaap Kunst dalam bukunya yang berjudul Hindu-Javanese Musical Instruments yang terbit pada tahun 1968.
Baca Juga: Seru dan Dipenuhi Plot Twist! Berikut 9 Rekomendasi Drakor Thriller yang Bikin Ketagihan Nonton
Sementara pada sumber lain ada yang menyebutkan bahwa kata tarawangsa juga ditemukan di kitab kuno Sewaka Darma yang menyebutkan bahwa tarawangsa ini adalah sebuah alat musik. Tarawangsa merupakan perkembangan dari alat musik rebab. Rebab muncul di tanah Jawa . setelah zaman Islam sekitar abad ke-15 sampai 16. Yang dimana merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), ini disebabkan oleh ukuran tarawangsa yang umumnya lebih tinggi daripada rebab.
Ditinjau dari segi fungsinya, seni Tarawangsa ini selalu dipertunjukan dalam siklus penanaman padi, yang dalam masyarakat agraris tradisional selalu diidentikan dengan sosok Nyai Sri Pohaci atau Nyi Pohaci Sanghyang Dangdayang Asri, Dewi Asri (Dewi Sri) sebagai dewi padinya masyarakat Sunda.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Didi Wiardi (alm.) dan Asep Saipul Ahmad pada 2008, kesenian Tarawangsa ternyata ditemukan pula di daerah Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya. Dan ada pula satu di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Yang tepatnya berada pada masyarakat Baduy. Walau setiap tempat berbeda secara tekstual. Khusus untuk di Kabupaten Bandung, kesenian Tarawangsa tepatnya terdapat di daerah Soreang dengan nama Tarawangsa Pangguyangan Soreang. Hal ini diketahui berdasarkan maestro tarawangsa yang masih terdapat di daerah tersebut yaitu, Aki Oyo sebagai penggesek tarawangsa dan Emid sebagai pemetik kacapi yang merupakan anak kandungnya sendiri.
Pertunjukan tarawangsa di setiap wilayah memiliki perbedaan bentuk dan struktur. Pertunjukan tarawangsa di wilayah Rancakalong, pertunjukannya tidak dilengkapi oleh vokal, hanya dua instrumen saja, yaitu jentreng dan tarawangsa, sedangkan seni tarawangsa di wilayah Cibalong Tasikmalaya, dipengkapi dengan instrumen lainnya, seperti calung rantay.
Dilansir dari Kemendikbud, Berikut ini adalah salah satu lirik lagu Salancar yang digunakan untuk bubuka dalam pertunjukan Calung tarawngsa di Cibalong. (Anzil Hidayat, 2012)
1. Asalamu’alekum
Amita kanu kagungan bumi
Anu kagungan lembur
Ayeuna muga-muga jembar pangampura
Ti luhur sausap rambut
2. Aduh-aduh ibu
Hurung eta lain layung
Eta herang lain bulan
Nu hurung mah hurung
Nu herang badan salira
Setelah lagu bubuka selesai dilanjutkan dengan lagu Kang Iriyadi
1. Euleung kang Iriyadi
Aeh-aeh
Euleung kang Iryadi
Kuring milu ka Panyiaran
Ari ngaba ngabantuan
Ayeuna mah ka Panyairan
Baca Juga: Simak! 9 Warna yang Mencerminkan Karakter Orang, Apakah Ada Warna Kesukaanmu?
2. Euleung kang Iriyadi
Aeh euleung
Euleung kang Iriyadi
Pangbalikan bubur beureum
Anu-anu beureum
Ayeuna mah da anu beureum
3. Kasep deudeuh teuing
Geuning ibu-ibu nineung
Alah nineung ibu nineung
Nineungna ka duanana
Aeh kasep ibu deudeuh
Selanjutnya ditutup dengan lagu penutup yaitu lagu mulang, di antara lagu-lagu lainnya lagu mulang adalah lagu yang paling pendek syairnya. Hanya saja penyajiannya diulang-ulang sampai pertunjukan dianggap telah selesai. Berikut adalah lirik lagu mulang yang biasa digunakan sebagai penutup pertunjukan dan dilakukan secara berulang-ulang:
Yu batur ayeuna urang marulang
Nya mulang hayu ka lembur urang
Baca Juga: Mengenal Istilah Amicus Curiae yang Diajukan Akademisi untuk Bharada E, Apa Artinya?
Sekian penjelasan mengenai kesenian Tarawangsa, kesenian masyarakat agraris kabupaten Sumedang. Mari kita terus melestarikan kesenian-kesenian daerah agar tidak punah tertindih oleh budaya-budaya luar yang terus berkembang tanpa jeda.***
Ikuti terus dan share informasi Anda di media sosial Google News Jurnal Soreang, FB Page Jurnal Soreang, YouTube Jurnal Soreang, Instagram @jurnal.soreang, dan TikTok @jurnalsoreang