JURNAL SOREANG - Pagi hari tiba, alam dan seisinya menyambut kecerahan ini seraya berkata, “Selamat pagi dunia.” Setiap pagi hari, embun memandikan tumbuhan, angin sejuk berembus. Kusapa matahari dengan lembut, “Good Morning, The Sun! Bagaimana hari ini denganmu?”
“Good Morning, Son. Ya, inilah tugasku sehari-hari satelah pergantian malam. Jika kau ingin melihat apa yang kau lihat tadi malam, cobalah kau pergi ke sebuah bukit di bawah pohon sambil tertidur,” ucap matahari kepadaku.
Lalu aku berjalan ke sebuah bukit dengan ditemani cahaya-cahaya bersayap yang menghiasiku. Setibanya di sana aku mulai berbaring.
“Wow, This is an adore thing that I haven”t seen yet, Sun. Kenapa mereka tak nampak?”
“Ya, jika kau dengar secara ilmiah, bulan, bintang, dan semua makhluk langit berkata demikian, namun itu tak berlaku bagimu, sebab kau dianugerahi penglihatan yang tajam.”
“Matahari, bagaimana aku harus terus menjaga masa kesucianku ini?”
“Sehabis sembahyang, berdoa dengan tangisan itu luar biasa, Nak. Lakukanlah itu, terlebih di hari Jumat yang agung di sore hari. Itu adalah waktu yang tepat.”
“Terima kasih, Wahai Matahari. Meski kelak banyak orang tak percaya padaku, namun aku masih memiliki teman sepertimu.”
“Tegar dan berpegang-teguhlah pada keyakinanmu, niscaya kau selalu dalam kekuatan cahayamu. Sekarang pergilah bermain, Nak. Aku harus menjalankan tugasku.”