DPR RI Pertanyakan Holding-isasi PLTP oleh Pertamina Geothermal Energy, Nevi Zuairina: Mestinya oleh PLN

9 Agustus 2021, 11:12 WIB
Anggota DPR, Nevi Zuairina, yang mendesak agar holding PLTP di bawha PLN bikan Pertamina Geotermal /Istimewa/

JURNAL SOREANG-Pemerintah Indonesia berencana melakukan holding-isasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) serta melakukan Initial Public Offering (IPO) atau Penawaran Umum Perdana Saham.

Anggota Komisi VI DPR RI, Nevi Zuairina menyatakan setuju dengan rencana pemerintah tersebut. Hanya saja, dia menilai masih ada hal yang dianggap janggal sehingga mesti dilakukan berbagai pertimbangan terlebih dahulu.

Dia mengatakan, persoalan mendasarnya adalah perusahaan holding yang mestinya diamanatkan kepada PLN, malah diserahkan pada Pertamina Geothermal Energy (PGE).

Baca Juga: Anggota DPR Tak Setuju Pertamina dan Anak Perusahaannya Lakukan Penjualan Saham Perdana, Ini Alasannya

"Minimal ada tiga hal kenapa bukan PGE yang mesti menjadi holding, tapi seharusnya PLN," tegas Nevi, dikutip dari dpr.go.id pada Jumat, 6 Agustus 2021.

Pertama,PGE baru berdiri tahun 2006 yang menyebabkan kekuatan manajemen dalam menguasai bisnis dan operasionalnya masih meragukan untuk mengemban holding.

Politisi FPKS  ini menguraikan, proyek pengembangan lapangan panas bumi ada di tiga lapangan, yaitu Bukit Daun di Bengkulu, Gunung Lawu dan Seulawah di Aceh yang masih dalam tahap pemboran sumur eksplorasi dan belum sampai pada tahap produksi listrik.

Baca Juga: Anggota DPR Nilai Holding PLTP di Bawah PGE Tidak Tepat, Harusnya PLN Jadi Holding

"Dari segi pengalaman, PGE ini kurang layak untuk menjadi holding karena masih terlalu awal dan kurang pengalaman sehingga manajemennya belum piawai dalam menghadapi berbagai persoalan bisnis dan operasional," tuturnya.

Nevi mengungkapkan banyak pihak yang khawatir dan ragu, apakah holding tenaga panas bumi ini nantinya akan lebih baik dan efisien atau tidak.

Pasalnya, tambah Nevi, PLTP yang akan diakuisisi ini telah beroperasi dan terbukti telah memberikan manfaat kepada jaringan listrik nasional.

Yang kedua, PLTP termasuk investasi mahal yang mesti dijaga asetnya untuk tetap menjadi milik pemerintah, bukan swasta. Apabila PLN tetap ingin melakukan IPO, maka dia khawatir aset berharga ini akan dimiliki swasta.

Baca Juga: PLN Dorong Kebangkitan UMKM di Masa Pandemi Covid-19

"Yang ketiga, regulasi Energi Baru Terbarukan (EBT) pada RUU Energi Baru Terbarukan yang digodok di DPR RI masih berpolemik," sambungnya.

Ada dua pasal yang masih berpolemik dalam RUU EBT menurut Nevi, yakni Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (4).

Pada Pasal 40 ayat (1) berbunyi "Perusahaan listrik milik negara wajib membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari Energi Terbarukan".

Sedangkan Pasal 51 ayat (4) berbunyi "Dalam hal harga listrik yang bersumber dari Energi Terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik perusahaan listrik milik negara, Pemerintah Pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisih harga Energi Terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau Badan Usaha tersebut".

Baca Juga: Daripada Beli ke Swasta, DPR RI Dorong PLN Bangun Pembangkit Listrik Sendiri

Nevi menegaskan, RUU EBT jangan sampai memuluskan jalan swasta untuk membuat pembangkit listrik dengan tenaga EBT.

Apalagi dengan memanfaatkan kewajiban PLN melalui skema take or pay untuk membeli listrik tersebut yang selisih biaya produksinya akan ditanggung oleh pemerintah melalui subsidi EBT.

Nevi mengimbau BUMN dan anak BUMN seperti PLN dan Geo Dipa & Indonesia Power untuk menjadi pengendali aset dan kegiatan utama dalam menjalankan semua bisnis PLTP

"Fraksi kami tidak menolak holding-isasi, tapi menolak kenapa holding ini ke PGE bukan ke PLN. Dan terkait IPO aset-aset pembangkit listrik tenaga panas bumi, Fraksi PKS sangat tegas menolak," ujar Nevi.

Baca Juga: Jadi Anak Usaha, EMI Perkuat Pengelolaan EBT PLN

PLTP yang sudah operasional ini seharusnya tetap menjadi milik BUMN dan listriknya menjadi hak rakyat untuk menikmatinya.

Legislator dapil Sumatera Utara II itu meminta kepada pemerintah agar menjaga etos dan semangat kerja PLN untuk terus membangun pembangkit listrik EBT baru dalam rangka meningkatkan bauran EBT nasional.

"Ini saatnya PLN untuk memanfaatkan tenaga solar yang sudah sangat ekonomis secara maksimal. Jangan malah merusak suasana dengan menjual aset PLTP milik BUMN yang sangat berharga itu," tegasnya.

Dikatakan Nevi, hal yang harus segera diperbaiki adalah model kontrak take or pay (TOP). Dikontrak disyaratkan sekitar sekian persen dari produksi listrik dari pembangkit swasta tersebut harus dibeli PLN (take or pay). Kalau tidak dibeli, maka PLN kena denda.

Baca Juga: PLN Pastikan Keandalan Pasokan Listrik Jelang Idul Fitri 1442 H, Siagakan 31 Ribu Personil Amankan Kelistrikan

Dengan model ini, Nevi menilai ketika permintaan masyarakat akan listrik rendah, maka terpaksa didahulukan dioperasikan pembangkit swasta agar PLN terhindar dari denda.

Dia menyarankan, model kontrak seperti ini mesti diganti dengan take and pay (TAP), dan kalau swasta tidak memenuhi kontrak juga akan terkena denda.

Dia memaparkan, tenaga listrik termasuk ke dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan tenaga listrik juga erat kaitannya dengan pertahanan dan keamanan negara.

Baca Juga: Anggota DPR Nilai Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal II 2021 Sebesar 7,07 Persen Masih Semu, Ini Alasannya

Berdasarkan Pasal 77 UU Nomor 19 Tahun 2003, BUMN yang bergerak di bidang ketenagalistrikan, termasuk Persero, tidak dapat diprivatisasi.

"Saya berharap, semua kebijakan pemerintah ini mesti berpihak kepada rakyat banyak. Hitung simulasinya, mesti memasukkan komponen apa akibat buat rakyat banyak, sehingga jangan sampai nantinya ada kerugian bagi masyarakat banyak," pungkas Nevi. ***

Editor: Sarnapi

Sumber: dpr.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler