Menurut Anindito, jika dibandingkan, hasil asesmen nasional (AN) sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka memiliki tingkat literasi dan numerasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah yang menggunakan Kurikulum 2013 (K13).
“Selisihnya bisa mencapai 4-6 persen dibandingkan sekolah dengan Kurikulum 2013. Bahkan untuk daerah tertinggal, sekolah dengan K13 tingkat literasi dan numerasinya tidak meningkat sama sekali dalam dua tahun. Ada pula yang negatif (minus). Ini tentu memprihatinkan. Kalau sekolah-sekolah ini tidak kunjung beralih ke Kurikulum Merdeka dan memperbaiki kualitas belajar, mereka akan semakin tertinggal,” ujar Anindito.
Anindito meminta bantuan kepada perwakilan komunitas yang hadir untuk menyampaikan pesan baik ini kepada rekan-rekan di daerahnya, dengan harapannya kerepotan peralihan kurikulum akan terbayarkan oleh perubahan yang terjadi pada peserta didik.
Dia menyatakan bahwa peserta didik akan memperoleh pengalaman belajar yang lebih baik, merasa senang dalam pembelajaran akademik, namun juga memiliki kesempatan pengembangan di bidang non-akademik.
Dalam dialog itu juga Anindito menjawab keraguan hasil Asesmen Nasional yang seolah tidak menggambarkan kondisi siswa di sekolah karena dilakukan dengan metode sampling.
Menurut Anindito, pengukuran dengan metode ini juga sama seperti yang dilakukan lembaga-lembaga survei menjelang Pemilihan Umum.
Untuk memprediksi 80 juta pemilih di Indonesia, lembaga ini hanya perlu menyuplik 1.200-an responden. Bandingkan dengan sekolah yang jumlahnya lebih sedikit dibanding angka tersebut.