Network
"Kedepannya kita sudah mengimplementasikan program kurikulum merdeka, dimana kontekstual base learning yang lekat dengan kehidupan anak-anak, apapun program pembelajarannya," tegasnya.
"Sehingga, di akhir pembelajaran siswa harus ada produk yang dihasilkan," lanjut dia.
Baca Juga: Ancaman Nyata Timnas Argentina di Piala Dunia 2022 Qatar, Messi Lakukan Hal Ini
Selain itu, agar tidak mengemukakan hambatan atau kekurangan para siswa di sekolahnya, rombongan belajar yang identik dengan jurusan, ia ganti dengan nama-nama tokoh Islam.
"Misalnya Rombel Abdullah bin Umi Maktum itu di dalamnya ada anak-anak Tuna Netra, Rombel Harum Ar-Rasyid untuk anak- anak Tuna Rungu, Rombel Salman Al Farisi untuk anak-anak Tuna Grahita, Rombel Ibnu Sina di dalamnya anak-anak Tuna Daksa, Al Fatih untuk anak-anak autis," jelasnya.
Dengan demikian, kata Santi, ada perubahan psikologis dari para siswanya setelah nama rombelnya diganti.
Baca Juga: 4 Pemain World Cup 2022 yang Dikenal Barbar Adu Tinju di Lapangan, Pepe Portugal Paling Brutal
"Sekarang mereka seolah-olah bagian dari tokoh itu, sehingga merekapun tidak lagi sungkan untuk unjuk kebolehannya," ungkap Santi.
Untuk itu, dikatakan Santi, jika sekolah menerapkan prinsip sekolah ramah maka sebaliknya mengedepankan potensi dan kelebihan yang membuat siswa itu sendiri merasa nyaman.
"Sebaiknya, kalau menerapkan prinsip sekolah ramah, ya memang tidak mengedepankan hambatan belajar anak, tapi justru potensinya, kelebihannya dan apapun yang membuat mereka nyaman, kita buat," pungkasnya.***
