Begini Rancangan Undang-Undang Baru Usulan Dewan Pers yang Mematikan Konten Kreator

- 5 Agustus 2023, 18:14 WIB
Konten Kreator
Konten Kreator /

 

JURNAL SOREANG - Yang lagi viral di Indonesia adalah rancangan peraturan presiden baru yang membatasi pemberitaan dan pembuatan konten di Indonesia. Rancangan Perpres (Peraturan Presiden) yang menurut Dewan Pers adalah Media Sustainability itu sudah berada di Istana Merdeka dan tunggu persetujuan Presiden untuk ditandatangani. Banyak pembaca yang belum tahu maksud dan tujuannya karena beberapa maksud yang kurang dipahami. Seperti apa peraturannya? Bagaimana ini bisa membunuh konten kreator di Indonesia?

Dikutip Jurnal Soreang dari channel YouTube Sepulang Sekolah yang diupload pada 4 Agustus 2023, dalam waktu dekat pemerintah Indonesia akan mengesahkan Perpres Media Sustainability atau Media Berkelanjutan. Perpres ini bisa disebut juga Perpres Publisher Right. Perpres yang diajukan oleh Dewan Pers ini sudah diajukan pada 17 Februari 2023, tetapi masyarakat masih banyak yang menanggapi secara santai. Baru viral kembali setelah mendapatkan kabar bahwa peraturan ini mau diasahkan setelah ditandatangani oleh Presiden.

Yang bikin viral adalah ada beberapa poin yang masih belum disetujui oleh beberapa pihak, namun rancangan Perpres tersebut mau disahkan secara terburu-buru. Menurut Usman Kansong, Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, tujuan adanya Perpres ini untuk melindungi keberlangsungan kehidupan media di era Internet sekarang.

Baca Juga: Tiba-tiba Nyeri Asam Urat Kambuh Lagi? Begini Pertolongan Pertama untuk Meredakannya, Jangan Sembarangan!

Isi dari Perpres yang dibuat 17 Februari 2023 lalu adalah tanggung jawab platform digital untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas. Harapan Dewan Pers adalah platform digital bisa mengikuti asas-asas kedaulatan informasi, keberlanjutan, keseimbangan, kesetaraan, manfaat, transparansi, dan nondiskriminasi. Kalau dilihat dari tujuannya, maksud Dewan Pers ini bagus karena kualitas berita dan produk jurnalistik Indonesia terjaga.

Yang menjadi masalahnya hak-hak yang diminta Dewan Pers tidak sesuai dengan tujuannya. Menurut Dewan Pers, ada dua tujuan dari rancangan Perpres Publisher Right. Yang pertama agar platform digital untuk selalu mengonfirmasikan kepada perusahaan pers setiap ada perubahan algoritma dan formula bagi hasil. Misalnya Google atau Pikiran Rakyat mengubah algoritmanya, Dewan Pers harus mendapatkan informasinya maksimal 28 hari sebelum rilis. Algoritma menurut Dewan Pers adalah sistem yang bisa memengaruhi traffic dan distribusi konten. Dengan harapan konten jurnalistik bisa menyesuaikan update algoritma terlebjh dahulu dibandingkan konten kreator.

Menurut komentar dari netizen, Dewan Pers terkesan lembaga pers pemalas. Karena ini diibaratkan siswa diberikan tugas oleh gurunya. Agar mendapatkan nilai sempurna, siswa malah meminta kunci jawabannya ke guru. Ini kesannya curang selain pemalas. Begitulah maksud dari netizen yang mengkritik langkah Dewan Pers ini.

Baca Juga: Hati-hati Menyebarkan Data Pribadi di Dunia Maya, Satu Keluarga Dibunuh oleh Stalker Di Korea

Selain perubahann algoritma, Dewan Pers juga minta diberi tahu formula bagi hasil dan sistem pemgiklanan di platform digital. Harapannya agar terciptanya negosiasi bagi hasil yang adil antara platform digital dengan perusahaan pers.

Yang kedua adalah menekan konten pemberitaan tertentu. Maksudnya adalah nantinya Dewan Pers akan mengontrol berita yang boleh ditampilkan dan dilarang ditampilkan di platform digital. Menurut Pasal 7 ayat 1 poin A dan B berbunyi perusahaan platform digital wajib mendukung jurnalisme berkualitas termasuk mencegah penyebaran dan/atau komersialisasi konten berita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik sesuai ketentuan peraturan perundungan-undangan dan menghilangkan betita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pers.

Hal ini bisa saja disalahgunakan oleh Dewan Pers bila pemikirannya subjektif. Bagi pembuat berita yang membuat berita sudah sesuai, bisa saja ditarik atas perintah Dewan Pers kalau tidak sesuai. Ini berarti menyimpang dari tujuan kesetaraan dan keeeimbangan.

Hingga kini, platform digital di Indonesia masih belum setuju dengan usulan Dewan Pers ini. Terutama Google yang bereaksi lewat Indonesia Google Blog.

Baca Juga: Pendaftaran Upacara 17 Agustus 2023 di Istana sudah Dibuka, Warganet Ungkap Komentar Kecewa, Kenapa?

Menurut Michaela Browning selaku Vice President Government Affair and Public Policy for Google Asia Pacific, Google khawatir bila rancangan Dewan Pers disetujui tanpa revisi, peraturan ini akan membatasi keberagaman berita yang dikonsumsi publik. Ini sangat memungkinkan Dewan Pers menilai berita secara subjektif. Langkah Dewan Pers ini mengingatkan kita pada tugas Departemen Penerangan yang bubar pada 2002.

Selain itu, Perpres ini juga tidak sejalan dengan misi Google untuk memberikan informasi yang mudah diakses sama masyarakat. Peraturan ini bakal berefek pada Google secara langsung untuk menyediakan informasi yang relevan, kredibel, dan beragam. Meski efektif memberantas hoax, tapi yang bukan hoax juga ikut diberantas Dewan Pers. Contoh kasus petugas parkir Pasar 16 Ilir Palembang kemarin yang memang terjadi dna bukan hoax bisa saja dihilangkan Dewan Pers dengan alasan tertentu.

Menurut Koide Namizo, pemilik channel YouTube Sepulang Sekolah, Google punya cara tersendiri untuk menghalau konten negatif yang jauh lebih canggih. Kalaupun ada kekurangan, hal itu yang diperbaiki Dewan Pers. Bukan buat standar dari Dewan Pers sendiri. Selain itu, ada dampak yang sangat signifikan jika Perpres ini berlaku.

Baca Juga: 7 Ide Lomba Unik dan Lucu 17 Agustusan Terbaru, Peralatannya anti Ribet, Cocok untuk Semua Usia!

Yang pertama adalah menguntungkan penerbit berita dan perusahaan pers yang besar. Penerbit berita atau perusahaan pers kecil bisa dirugikan karena saat mereka menerbitkan berita, mereka harus meminta verifikasi dan informasinya disaring Dewan Pers. Ini sama saja menghambat mereka berkembang dan informasinya tidak bisa dinikmati masyarakat. Masyarakat makin sulit untuk mendapatkan informasi yang beragam dan relevan sesuai kebutuhan individu.

Yang kedua adalah mengancam keberadaan media dan kreator berita. Konten kreator berita seperti kita sebagai konten kreator PRMN. Terutama memberikan update berita akan kena imbasnya. Ini terlihat dari Pasal 7 ayat 1 poin f, yang dimana berbunyi 'tidak mengindeks dan/atau menampilkan konten jurnalistik yang merupakan hasil daur ulang dari konten media lain tanpa izin'. Artinya kita harus meminta izin terlebih dahulu jika mengutip dari media lain. Yang biasanya hanya cukup dikasih credit atau sumber, nantinya jika peraturan ini berlaku harus meminta izin terlebih dahulu yang dimana sangat menguntungkan media dan konten berita tertentu. Kalau sudah begini media dan konten berita besar yang menjadi cuan. Jika aturan ini berlaku, Google tidak akan menampilkan berita dari media massa Indonesia.

Usman Kansong merespon hal tersebut dengan memberikan sanksi jika itu benar-benar terjadi dengan dalih Google menyebarkan hoax. Ini kesannya berita yang benar hanya dari media yang besar dan Google dituduh merajuk dengan menampilkan berita dari media kecil yang dituduh hoax.

Baca Juga: Daerah Cekungan Bandung Makin Macet, Presiden Jokowi Instruksikan Hal Ini kepada Jajarannya

Selain konten kreator berita yang terkadang mengutip dari media luar negeri, konten kreator lain juga terancam. Terutama konten kreator edukasi yang mengutip dari media luar negeri. Meminta izin untuk mengutip dati media luar negeri butuh waktu yang tidak sebentar. Sudah penontonnya sedikit, ditambah dipersulit dengan izin seperti ini. Diibaratkan sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Selain itu, konten yang tidak mengutip media lain juga berpotensi kena akibat peraturan algoritma usulan Dewan Pers itu. Karena Dewan Pers harus mengetahui algoritma terlebuh dahulu, dikhawatirkan konten mereka ditenggelamkan secara tidak langsung oleh Dewan Pers karena media berita besar yang diutamakan. Kalaupun tidak mengancam, pendapatan mereka bakalan menurun yang berujung pengurangan staf mereka. Konten kreator kecil terancam tidak bisa berkarya meski kontennya bagus.

Hal ini mengingatkan kita kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang akan membatasi OTT seperti Netflix, Disney+ Hotstar, Amazon Prime, dll dengan dalih tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Namun rencana ini ditolak karena KPI yang tidak bisa memberikan acara televisi yang berkualitas dan membiarkan media pertelevisian menyiarkan acara yang hanya dinikmati orang tertentu. Seperti emak-emak yang menyukai acara sinetron dan drama India. ***

 

 

Ikuti terus dan share informasi Anda di media sosial Google News Jurnal SoreangFB Page Jurnal SoreangYouTube Jurnal SoreangInstagram @jurnal.soreang, dan TikTok @jurnalsoreang

 

Editor: Josa Tambunan

Sumber: YouTube Sepulang Sekolah googleblog.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah