Empat Masalah Global Ini, Seharusnya Dorong Semangat Nasionalisme dan Kebangsaan

- 22 Juni 2021, 06:18 WIB
Ketua Umum MUI Jawa Timur KH. Ali Maschan Moesa
Ketua Umum MUI Jawa Timur KH. Ali Maschan Moesa /Dok LDII/

JURNAL SOREANG- Konflik dunia yang terus menderu, kerap menggunakan dalih penegakan demokrasi maupun agama. Padahal, konflik tersebut bila diperhatikan secara seksama berkaitan dengan persoalan sumberdaya yang kian terbatas.

“Konflik global saat ini pada dasarnya memperebutkan sumber daya seperti pangan, air, logam langka, dan energi,” papar Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), KH. Chriswanto Santoso, mengutip buku Geof Hischock, Earth Wars: The Battle for Global Resources.

Namun, menurut Chriswanto, pada permukaan atau yang muncul di grass root, konflik-konflik tersebut seringkali atas nama penegakan demokrasi bahkan agama.

Baca Juga: Sebut Animasi Nussa Promo Indonesia Cabang Khilafah, Eko Kuntadhi: Gue Bersyukur Menyuarakan Kegelisahan Orang

KH Chriswanto saat dijumpai di Kantor DPW LDII Jawa Timur, Senin, 21 Juni 2021,  mengatakan, fenomena tersebut harus disikapi dengan mengedukasi anak bangsa, terutama milenial mengenai wawasan kebangsaan dan nasionalisme, baik dalam geopolitik maupun geoekonomi.

"Nasionalisme di sini bukan nasionalisme dalam arti sempit, yang memandang besar diri sendiri dan menutup diri dalam pergaulan internasional, namun yang kita harapkan adalah sosio-nasionalisme,” ujarnya.

Sosio-nasionalisme merupakan pemikiran awal abad 20, ketika bangsa-bangsa terjajah mulai menuntut kemerdekaannya.

“Sosio-nasionalisme adalah pemikiran Bung Karno mengenai nasionalisme yang bertujuan mencapai kebahagiaan umat manusia. Bukan nasionalisme sempit, tapi nasionalisme yang berlandaskan kemanusiaan dan antipenindasan sesama umat manusia,” ujar KH Chriswanto Santoso.

Baca Juga: Tausiah Kebangsaan MUI di LDII Bahas Tiga Rukun Bernegara, Ini Tiga Rukunnya

Menurutnya, sebagai bangsa yang besar, rakyat Indonesia harus memiliki wawasan kebangsaan. Dengan wawasan tersebut, mereka bisa melihat posisinya di tengah-tengah hiruk-pikuk politik nasional dan global.

“Sebagai negeri yang kaya dengan sumberdaya, negara dengan ideologi tertentu ingin menguasai negeri ini,” paparnya.

Ideologi yang sifatnya transnasionalisme seperti liberalisme, sosialisme, komunisme, hingga pan Islamisme, tak henti-henti berebut pengaruh di tanah air. Kehadirannya, bisa dalam bentuk perdagangan dan investasi internasional, hingga masuk dalam dunia politik.

Baca Juga: Berbagi Berkah Ramadhan, LDII Jabar Bagikan Puluhan Ribu Paket Takjil

“Inilah pentingnya memupuk sosio-nasionalisme dan wawasan kebangsaan, untuk menjaga keutuhan NKRI sebagaimana cita-cita pendiri bangsa,” ujar KH Chriswanto Santoso.

Senada dengan KH Chriswanto Santoso, Ketua Umum MUI Jawa Timur KH Ali Maschan Moesa, terkait ideologi transnasional seperti kekhilafahan, menegaskan berbeda-beda adalah sunnatullah, atau kehendak Allah.

“Berbangsa-bangsa itu boleh, sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al Hujurat Ayat 13,” ujarnya dalam Tausiah Kebangsaan yang diselenggarakan DPW LDII Jawa Timur, di Aula Ponpes Sabilurrosyidin Annur, Surabaya.

Baca Juga: BSU Tahap II 2021 Rp1,8 Juta Kapan Cair? Begini Penjelasan Notifikasi Perintah Aktivasi Rekening Info GTK

Artinya, menjadikan bangsa-bangsa menjadi satu ideologi tidak tepat, justru bakal memunculkan anggapan anggapan diri mereka yang terbaik atau chauvinisme.

Menurutnya, bila NKRI diganti dengan bentuk pan Islamisme atau yang lebih dikenal dengan khilafah, justru bertentangan dengan sunnatullah.

“Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI merupakan bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia untuk mendirikan sebuah negara-bangsa,” jelas KH Ali Maschan Moesa yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.

Ia memaparkan, dalam perspektif agama, sebagian kelompok-kelompok umat Islam mengartikan Surat Al Baqarah ayat 208, untuk membenarkan berdirinya negara Islam.

Baca Juga: Muncul Gagasan Pasangan Capres dan Cawapres Jokowi-Prabowo, Rocky Gerung Sebut Mereka Akan Kalah dengan ini

“Mereka mengartikan masuklah kamu sekalian ke dalam negara Islam secara totalitas. Padahal kosa kata al-silmi, bukan berarti negara Islam tapi perdamaian,” ujarnya.

Surat Al Anfal ayat 61, menurut KH Ali Maschan Moesa, menegaskan kembali al silmi sebagai perdamaian. “Maka jelaslah Surat Al Baqarah ayat 208 tidak berkaitan dengan kewajiban untuk mendirikan negara Islam,” imbuhnya.

Menengok sejarah, menurut KH Ali Maschan Moesa, pesan Rasulullah setelah meninggal adalah mengangkat khalifah atau pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam. Dan ketika musyawarah yang terpilih Abu Bakar.

Baca Juga: Angka Kematian Anak Akibat Covid-19 Capai 50 Persen, IDA: Diantaranya Masih Berusia Balita

“Dalam Alquran tak didapati kosa kata khilafah, yang ada khalifah dengan bentuk jamak khalaaif dan khulafa,” ujarnya.

KH Ali Maschan Moesa dan KH Chriswanto Santoso sama-sama meyakini, Islam tak perlu menjadi negara dalam konteks keIndonesiaan. Dengan lahirnya Pancasila, umat Islam di tanah air dapat melaksanakan Islam sebagai rahmatan lil alamin. ***

Editor: Sarnapi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah