Setahun Jadi Jubir Covid-19, Begini Curhatan dr Reisa Broto Asmoro

- 11 Juni 2021, 14:37 WIB
Juru Bicara Pemerintah dr. Reisa Broto Asmoro saat memberikan keterangan pers. Senin 12 April.2021./Tangkapan layar./
Juru Bicara Pemerintah dr. Reisa Broto Asmoro saat memberikan keterangan pers. Senin 12 April.2021./Tangkapan layar./ /

JURNAL SOREANG – "Satu tahun berlalu. Dua belas bulan, 366 hari sudah saya bertugas sebagai juru bicara Covid-19. Saya belajar bahwa setip orang punya cerita yang berbeda dalam bersinggungan dengan Covid-19. Ada banyak masa berduka dan banyak lagi orang memiliki kisah lebih sedih dari yang saya alami"

Demikian penggalan cerita yang diungkapkan dr Reisa Broto Asmoro, sang juru bicara Satgas Covid-19 yang kini sudah genap setahun menjalani tugasnya.

Memang sekilas, kata Reisa, tidak ada yang baik tentang pandemi ini.

Baca Juga: Heboh Oknum Kimia Farma Pakai Alat Tes Antigen Bekas di Kualanamu, dr. Reisa: Kok Bisa Ya?

Namun ia mengaku tetap bersyukur kepada Tuhan karena telah mampu melewati setahun yang tidak mudah ini.

"Tetapi jujur saja, jika waktu boleh diulang, saya lebih suka menghindari pandemi. Saya lebih memilih mencari cara mencegahnya terjadi. Pandemi ini telah masuk ke semua sendi kehidupan kita secara dramatis. Mengubah hidup secara drastis, memberikan tantangan baru yang sebelumnya kita tidak pernah perkirakan. Namun tetap harus kit acari jawabannya," tutur Reisa.

Reisa menegaskan, wabah ini telah merenggut para dokter, perawat, dan puluhan tenaga kesehatan terbaik yang berjuang tanpa lelah di garis depan untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

Baca Juga: Reisa Brotoasmoro Doakan Atalia Praratya yang Positif Covid-19, Ini Pesan Ridwan Kamil pada Masyarakat

Dari ratusan dari nakes yang telah gugur, tak sedikit yang merupakan kolega dan guru Reisa yang juga berprofesi sebagai dokter.

Ia mengakui bahwa rasa Kehilangan yang luar biasa sampai saat ini masih ia rasakan.

"Tentunya juga gugurnya para pejuang ini adalah kerugian negara. Dalam rangka menjadi
dokter, di Indonesia, seseorang harus menghabiskan setidaknya enam tahun belajar. Belum lagi serangkaian Pendidikan spesialis, pasca sarjana, berbagai kursus, dan pemenuhan kualifikasi akademik lainnya yang harus mereka lalui untuk dapat disebut ahli di bidangnya," kata Reisa.

Baca Juga: Masih Takut Divaksinasi Covid-19? Simak Pengalaman Ariel Noah, Raffi Ahmad dan dr Reisa Berikut Ini

Reisa mengenang perjalanannya sampai menjadi jubir Covid-19 diawali oleh dua kasus positif ibu dan anak di Depok, tahun lalu.

Kasus pertama dan kedua Covid-19 di Indonesia ini memicu perdebatan tentang bagaimana masyarakat harus menanggapi kejujuran dan keberanian orang yang secara terbuka menyatakan status kesehatan mereka.

Covid-19 telah mengubah hidup mereka, terutama bagaimana privasi mereka, bahkan tetangga mereka, dilanggar media dan netizen, demi judul berita sensasional dan konten media sosial yang viral.

Baca Juga: Raffi Ahmad Divaksinasi, Ini Pesan Rekan Artis Sherina dan Jubir Covid-19 Reisa Broto Asmoro

Namun stigmatisasi terhadap pasien Covid-19 tidak berumur lama.

"Hari ini, kita malah melihat banyak orang malah saling membantu dan mendukung tetangga mereka, bahkan menyemangati orang-orang yang mereka tidak kenal sebelumnya, yang sedang melalui masa isolasi untuk sembuh dari infeksi," ujar Reisa.

Ia menegaskan bahwa sekarang kita telah melihat banyak inisiatif berdasarkan Solidaritas tinggi, menulari berbagai kelompok di seluruh Indonesia, menular cepat sebagai virus yang baik.

Baca Juga: Perjalanan Masih Boleh Sebelum 5 Mei 2021, Jubir Covid-19: Warga Wajib Miliki SIB dan Surat Negatif Covid-19

Mereka saling membantu bukan saja pasien Covid-19, tetapi juga membantu mereka yang terkena dampak krisis ekonomi.

Reisa menegaskan, inisiatif Desa Tangguh dan Jogo Tonggo adalah contoh virus baik yang menular.

Inisiatif yang secara harfiah berarti menjaga tetangga Anda adalah inspirasi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyrakat berskala Mikro (PPKM Mikro).

Baca Juga: Raffi Ahmad Divaksinasi, Ini Pesan Rekan Artis Sherina dan Jubir Covid-19 Reisa Broto Asmoro

Dengan sebutan yang bervariasi di 34 provinsi, semangat yang sama untuk saling peduli dan mengawasi, atau bahkan saling merawat anggota masyarakat membutuhkan telah meluas di seluruh pelosok negeri.

"Tentunya, pemerintah terus mencari cara untuk mencegah lebih banyak kematian dan memastikan masyarakat semakin aman dari ancaman virus corona ini. Kapasitas pengujian sampel (testing) telah meningkat dari 10 ribu menjadi lebih dari 50.000 sampel setiap hari," kata Reisa.

Ia menmabahkan, jumlah laboratorium telah berkembang menjadi sekitar 800 laboratorium di seluruh negeri.

Baca Juga: Terbukti! Arus Mudik Picu Lonjakan Kasus Covid-19, Akan Terjadi 6-7 Minggu Pascapuncak Mobilisasi Pemudik

Itu adalah komitmen meningkatkan 3T (Testing,Tracing and Treatment) atau tes, telusur dan terapi yang ditekankan Presiden Joko Widodo sejak awal pandemi.

Peningkatan ini dimungkinkan dengan dukungan dari puluhan ribu tracers atau petugas pelacak kasus yang merupakan gabungan dari tenaga Kesehatan, dan polisi dan prajurit TNI.

Ribuan relawan juga direkrut dan dilatih untuk mendukung tracing, dan berbagai tugas yang biasa diemban tenaga Kesehatan.

Baca Juga: 8 Napi Perempuan di Bali Dilarikan ke RS Akibat Minum Disinfektan, 1 Napi Tewas, Biar Tak Kena Covid?

Mereka bertugas mulai dari penyedia layanan kesehatan tingkat terendah, seperti puskesmas sampai dengan di rumah sakit-rumah sakit rujukan.

"Pandemi telah mengambil alih hampir 90 persen dari layanan yang disediakan oleh fasilitas kesehatan tingkat manapun. Laporan terbaru menunjukkan bahwa penanganan pandemi menambah sekitar 40 persen beban kerja dan jam operasional puskesmas di seluruh Indonesia," ujarnya.

Setelah pemerintah mengamati arus mudik dan arus balik, rumah sakit kembali diminta untuk meningkatkan kapasitas mereka dengan menambah jumlah bangsal isolasi dan tempat tidur di ruang gawat darurat mereka.

Baca Juga: Sejak Maret 2020 RSUD Majalaya Kab. Bandung Layani Pasien Covid 829 Orang, 126 di Antaranya Meninggal Dunia

Sejak Januari 2021, ujar Reisa, pemerintah memiliki hampir 1000 rumah sakit rujukan, 10 kali lebih banyak daripada kondisi di fase awal pandemi.

Selain rumah sakit, Kementerian Kesehatan juga telah menambah lebih dari 8500 tenaga kesehatan untuk memperkuat pelayan Kesehatan saat ini.

Pasukan tambahan ini terdiri dari dokter umum, spesialis, perawat dan staf pendukung lainnya.

Baca Juga: Ayo Vaksinasi, Indonesia Sudah Menerima Total 93,7 Juta Dosis untuk Lawan Pandemi Covid-19

"Itulah sebagian dari statistik yang disenangi media. Angka-angka yang bisa berubah dalam semalam. Namun harus juga diingat bahwa pandemi tidak hanya mempengaruhi mereka yang tertular. Mereka yang berdiam diri di rumah, rajin memakai masker dan cuci tangan pakai sabun sesuai anjuran juga tetap terdampak," ucapnya.

Reisa mengakui, kesulitan ekonomi melanda keluarga Indonesia ditambah dengan tantangan psikologis baru membantu anak-anak belajar online sambil berkerja secara daring.

Dengan segala keterbatasan akses ke sekolah dan perubahan pola perilaku hidup, termasuk berubahnya pola asupan gizi, anak-anak dan populasi rentan lainnya juga dihadapkan dengan risiko kesehatan lainnya diluar Covid-19.

Baca Juga: Hadiri Kegiatan PT Geo Dipa Energi, Satu Wartawan Reaktif Covid-19, BPBD Disinfeksi Sekretariat PWI

Sebelum pandemi, banyak rumah tangga Indonesia mampu membeli cukup protein dan nutrisi penting lainnya untuk anak-anak mereka.

Namun saat para orang tua, pencari nafkah utama, harus tinggal di rumah sementara atau gajinya dipotong karena kehadiran di tempat kerja lebih sedikit, menu harian yang tersedia setiap waktu di masa lalu, tampaknya menjadi kemewahan pada saat ini.

"Karena Puskesmas harus menyesuaikan jam operasional dan beban pekerjaannya, cakupan program imunisasi dasar rutin dengan tambahan asupan gizi untuk bayi baru lahir dan balita melorot drastis. Kondisi tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan di kemudian hari," tutur Reisa.

Baca Juga: BLK Manggahang Baleendah Hampir Penuh, Gedung Lama RSUD Otista Soreang Akan Dijadikan Tempat Isolasi Covid-19

Menurud dia, rumah sakit pun banyak dihindari karena orang tua takut mendekati fasilitas tempat penderita Covid-19 dirawat.

Banyak anak Indonesia yang tingkat kesehatannya saat ini tidak terpantau dengan baik.

Maka, risiko peningkatan kasus anak dengan gizi buruk, stunting dan masalah kesehatan mental akan bermunculan apabila kita biarkan.

Baca Juga: Sejak Maret 2020 RSUD Majalaya Kab. Bandung Layani Pasien Covid 829 Orang, 126 di Antaranya Meninggal Dunia

"Kabar baiknya adalah orang Indonesia terbukti tangguh dalam menghadapi krisis. Mereka tidak akan membiarkan pemerintah untuk bekerja sendiri. Gotong-royong antar individu dan komunitas adalah senjata rahasia di balik upaya mengatasi pandemi di negeri ini," ujarnya.

Reisa melansir seorang siswa sekolah perawat yang mengajukan diri sebagai anggota tim
“Cobra” di Wisma Atlet.

Begitu juga Seorang comic atau stand-up komedian menggunakan ponselnya untuk membuat para penontonnya tertawa terpingkal-pingkal di rumah atau fasilitas karantina pemerintah saat menjalani isolasi atau perawatan.

Baca Juga: Bertambah 100 Kasus Per Hari, Penularan Covid-19 di Bandung Meningkat, Yana Mulyana: Sebentar Lagi Kolaps

"Ika Dewi Maharani, warga Surabaya, menjadi supir ambulans perempuan pertama yang mengantar pasien ke Wisma Atlet," ujarnya.

Di Padang, Sumatera Barat, sebuah kisah luar biasa telah diceritakan tentang Dr Andani Eka Putra, kepala penelitian penyakit menular dan diagnostik Universitas Andalas.

Didorong oleh mimpinya untuk melihat negara dan rakyatnya aman dari pandemi ini, dokter Andani menggunakan tabungan pribadinya sebesar Rp850 juta untuk membangun laboratorium pengujian sampel Covid-19.

Baca Juga: Cegah Penyebaran Covid-19, Polisi Bubarkan Acara Club Motor di Wilayah Cikancung

Dia membuka pintu labnya dan menyediakan pengujian sampel secara gratis.

Memasuki bulan keenam sejak program vaksinasi digulirkan, masyarakat Indonesia mengantre di pos dan sentra vaksinasi.

Tidak hanya mengantre untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mendampingi lansia, guru, dan tokoh agama divaksinasi. Mobil, bus, ojek online dan bahkan becak, digunakan untuk mengangkut lansia menemui petugas vaksinasi.

Baca Juga: Wakil Rakyat Minta BRI Tetap Pro UMKM Meski Lakukan Restrukturisasi Kredit Hingga Kinerjanya Turun

Reisa menilai begitulah cara orang Indonesia mempersonifikasikan ungkapan, “tidak ada yang aman sampai semua orang aman (no one is safe until everyone is safe)”.

"Masyarakat Indonesia adalah salah satu yang beruntung. Lebih dari 90 juta dosis Coronavac
dari Sinovac, AstraZeneca dari Covax dan Sinopharm telah mendarat di bandara Soekarno Hatta dan sudah disuntikkan ke lebih dari dua puluh juta orang Indonesia," tuturnya.

Reisa menegaskan, kabar baiknya tidak berhenti di situ, berbagai perguruan tinggi berkomitmen mengembangkan Vaksin Merah Putih dalam rangka menguatkan kemandirian.

Baca Juga: Waspada Laki-laki Lebih Rentan! Kenali Gejala dan Cara Mengatasi Long Covid

Para ilmuwan dari Lembaga Molekuler Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjajaran kini tengah berlomba mengembangkan vaksin produksi Indonesia.

"Pandemi mungkin sedikit melemahkan kita, tetapi juga telah menunjukkan resiliensi dan ketangguhan kita. Itulah hikmah dari serangkaian kegiatan komunikasi saya kepada publik sebagai jubir, bahwa bukan angka dan statistik yang paling penting, melainkan orang-orang, kisah ketangguhan manusia Indonesia adalah yang paling utama. Tetap Tangguh Indonesia. Salam sehat dari saya," pungkas Reisa.***

Editor: Handri


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah