Tak putus asa, dia menjajal lagi. Kali ini ia beralih menggunakan bilah bambu petung yang terkenal kuat, besar, dan mudah didapat. Rangka bambu itu disambung dengan logam dan resin.
Dari sebatang bambu petung usia dewasa, Singgih mampu membuat lima hingga tujuh kerangka sepeda. Sebuah lompatan nilai tambah dari bambu yang sering dianggap bahan alam biasa.
"Bambu itu material masa depan," kata alumnus Program Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Baca Juga: Mudik Aglomerasi Dapat Diberlakukan Di Bandung Raya, Bupati: Terapkan Disiplin Protokol Kesehatan
Berkat ide kreatif Singgih, bambu yang semula dihargai murah kemudian naik derajat. Saat itu, setelah menjadi rakitan sepeda, harganya minimal Rp3,5 juta hingga Rp60 juta.
Untuk mengerjakan pembuatan Spedagi, ia menggunakan tenaga lokal di desanya. Karena Spedagi dibuat dengan manual dan bukan produksi massal, diperlukan enam hari kerja untuk satu sepeda bambu.
Spedagi memiliki beberapa varian. Ada Spedagi Dwiguna (dual track) yang dirancang untuk bersepeda di jalan pedesaan maupun kota.
Spedagi Dalanrata (road bike) khusus untuk jalan yang mulus. Spedagi Gowesmulyo (joy bike) untuk perkotaan dengan jarak pendek, dan Spedagi Rodacilik (minivelo) yang menggunakan ban berdiameter kecil yang juga cocok untuk jalan perkotaan.
Baca Juga: Sebut Pemprov Sulsel Tak Punya Malu, Zulkifli Syukur: Stadion Mattoanging Seperti Benteng Takeshi
Merek Spedagi merupakan akronim atau singkatan dari sepeda pagi. Penamaan itu tak lepas dari kebiasaan yang dilakukan Singgih saat di desa yaitu bersepeda pagi menyusuri jalanan desa dengan bersepeda.