Sejarah Pulau Rempang dan Riwayatnya Kini Menurut Budayawan Jacob Ereste, Begini Katanya

26 September 2023, 07:27 WIB
Sejarah Pulau Rempang dan Riwayatnya Kini Menurut Budayawan Jacob Ereste, Begini Katanya /

JURNAL SOREANG - Pulau Rempang, adalah salah satu pulau yang indah yang dimiliki oleh Indonesia, dan merupakan Pulau terbesar kedua dari gugusan Pulau yang ada di Kepulauan Riau. 

Pulau ini diapit oleh dua buah pulau di sisinya yaitu Pulau Galang Dan Pulau Bulang. Ada enam buah jembatan yang menghubungkan jalur dari masing-masing pulau ke pusat Kota Batam. 

Sensasi keindahan pemandangan yang luar biasa yang dapat dinikmati dari jembatan jembatan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung.

Baca Juga: Sempat Menghilang Setelah Suksesnya Lagu 'Cupid', Girl Group FIFTY FIFTY Akhirnya Kembali Dengan Album Baru

Jacob Ereste, Seorang Penulis yang juga budayawan dan pengamat politik tanah air, mengatakan, Pulau Rempang memiliki luas wilayah sekitar 165 kilometer persegi. 

Ia membuka fakta sejarah tentang kepulauan Riau yang tidak lepas dari keberadaan para pejuang Kesultanan di masa lalu yang menjadi cikal bakal keturunan suku Melayu yang saat ini menjadi penduduk asli Kepulauan Riau, diantaranya warga penduduk asli Pulau Rempang. Kepulauan ini berada dibawah pemerintahan Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BPKB) yang sebelumnya bernama Badan Otorita Batam (BOM) yang berpusat di Kota Batam.

"Pulau Rempang sebagai bagian dari Kekuasaan Bada Otorita Batam (BOM), yang kemudian diubah nama menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Batam, (BPKB). Dan sebagai pulau yang terbesar kedua di gugus Kepulauan Riau, antara Batam, Rempang dan Galang yang kemudian disebut orang 'BALERANG'," Demikian kata Ereste melalui percakapan WhatsAppnya pada Minggu 17 September. 

Kerusuhan yang terjadi diantara masyarakat Pulau Rempang dengan pemerintah, dipicu oleh adanya penolakan warga terkait pembangunan sebuah mega proyek yang melibatkan investor asing yang berasal China.

Berbagai polemik yang muncul dikarenakan warga tidak bersedia untuk direlokasi dari kampung halaman yang sudah mereka tempati sebagai warisan leluhur semenjak hampir empat abad yang lalu. Mereka dapat menerima kehadiran perusahaan besar yang akan berdiri di kampung mereka tanpa harus menggusur warga asli sebagai Tuan Rumah di kampungnya sendiri.   

"Riwayat Pulau Rempang yang tengah menjadi masalah antara masyarakat dengan pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat karena konsesi yang diberikan kepada Group Pengusaha Artha Graha PT MEG (Mega Elok Graha) bermula pada 26 Agustus 2004 lalu, kala itu proyek yang hendak akan dibangun adalah KWATE (Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif), namun mangkrak hampir 20 tahun," Ujar Ereste. 

Baca Juga: YG Entertainment Masih Belum Putuskan Mengenai Masa Depan BLACKPINK, Netizen Justru Sudah Pasrah

"Kemudian baru menggeliat kembali, lanjut Ereste lagi, "setelah menemu investor kakap dari China pada April 2023. Perusahaan raksasa yang akan dibangun di Pulau Rempang ini adalah Perusahaan Pabrik Kaca dan Solar Panel terbesar kedua di dunia yang ada dibawah naungan Perusahaan Xinyi Group dari China. Dengan nilai Investasi awal sebesar Rp.172 triliun, dan total keseluruhan Rp.381 triliun yang ingin menggunakan areal seluas 17.ribu hektar lahan di Pulau rempang," kata Ereste.

Menurut Ereste, MoU yang diperbaharui antara Perusahaan PT Mega Elok Graha dengan Pemerintah Daerah seperti yang disampaikan oleh Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Batam telah diambil alih oleh Pemerintah Pusat, dengan membubuhkan perjanjian kesepakatan pengosongan atau relokasi warga Pulau Rempang, yang sudah menempatinya berabad-abad semenjak leluhur mereka.

Namun menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kota Batam Taba Iskandar, MoU yang disepakati dengan Pemerintah Daerah bersama PT MEG pada 26 Agustus 2004 itu tidak berkaitan dengan Proyek Rempang Eco City yang mengharuskan penduduk Pulau Rempang keluar dan mengosongkan tempat tinggal mereka yang sudah dihuni ratusan tahun itu," demikian kata Ereste mengutip penyampain Taba Iskandar Ketua DPRD Kota Batam.

Konon, sejarah keberadaan Pulau Rempang dan sekitarnya tidak lepas dari Kepemimpinan seorang Sultan yang merupakan seorang Ksatria dari kerajaan Melayu di kepulauan Riau. Ia adalah Sultan Sultan Machmud Raiyat Syah, yang memerintah sekitar abad ke 16 dan telah ikut memberantas keberadaan Kolonial Belanda di pulau itu.

Ereste menuturkan, "riwayat Pulau Rempang, yang dicatat oleh Hj Azlaini Agus merujuk dari kitab Tuhfat An-Nafis yang disusun oleh Raja Ali Haji yang diterbitkan pada tahun 1890, bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan asli dari para Prajurit atau Laskar kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami Pulau tersebut sejak tahun 1720 semasa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamnsyah I,"

Sejarah pecahnya perang Riau I di antara tahun 1782-1784 melawan Belanda, Prajurit Kesultanan Pulau Rempang adalah Prajurit yang dipimpin langsung oleh Sultan Machmud Riayat Syah. 

Baca Juga: Bupati Bandung Memperingati HANTARU ke 63 dengan Komitmen Sinergis: Kolaborasi untuk Indonesia Maju

Tak lama kemudian sekitar tahun 1787 Sultan Syah memindahkan Pusat Pemerintahannya ke Daik Lingga, sementara tiga Pulau, diantaranya Pulau Rempang dijadikan basis pertahanan dari Kesultanan Riau yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad dan Panglimanya yang bernama Raman. Konon, kekuatan yang dimiliki Armada perang dari Kesatrian Kesultanan Pulau Rempang ini membuat pasukan Belanda dan Inggris tidak berani mendekati Pulau itu.

"Saat perang Riau I antara tahun 1782-2784, melawan Kolonial Belanda mereka menjadi Prajurit dipimpin langsung oleh sultan Syah. Dan Sultan Syah lalu memindahkan Pusat Pemerintahannya ke Daik Lingga pada tahun 1787, sedangkan Pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan dari kesultanan Riau yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman. Pasukan Inggris dan Belanda tidak berani melintas di kawasan itu karena kuatnya basis pertahanan yang dimiliki Kesultanan Riau ini," kata Ereste.       

Keturunan para Prajurit Kesultanan Riau Lingga inilah yang menjadi generasi penerus yang mendiami Pulau Rempang dan pulau-pulau lainnya di Kepulauan Riau dan juga yang menjaga dan memelihara sejarah serta tradisi turun temurun suku Melayu di Pulau itu. Konon, Sifat Karakter yang mengalir dalam tubuh mereka ini menggambarkan daya juang leluhur mereka yang pemberani dan konsisten serta jiwa ksatria dan patriotik yang merupakan bagian dari pasukan Elit yang dikenal dengan sebutan Pasukan Penikam Kesultanan.

"Hingga sekarang , generasi anak cucu para pejuang Kesultanan Lingga inilah yang terus menempati pulau tersebut sampai sekarang. Jadi, darah pejuang yang mengalir dalam tubuh mereka menandai sikap Patriotik dan heroik, pemberani dan konsisten. Nenek Moyang mereka pun dikenal dengan sebutan 'Pasukan Khusus Penikam' Kesultanan," ujar Ereste. 

Menurut Ereste, terlalu gegabah bila harus dikatakan jika penduduk asli yang menempati 16 Kampung Tua di Pulau Rempang ini tidak berhak hidup di tanah kelahiran mereka, yang merupakan warisan leluhur mereka. Apa terlebih harus direlokasi dengan bersegera mengosongkan daerah tersebut. Itu sama saja mencabut hak warga Rempang dari sejarah dan basis budaya warisan leluhur mereka. Sejarah turun temurun dapat terancam punah, bukan hanya adat budaya tetapi juga tatanan hidup dan masa depan generasi yang akan kehilangan tonggak sejarah dan asal asal usul jati diri mereka," demikian lanjut Ereste. 

Tak kurang dari 10 ribu warga yang harus direlokasi ke tempat lain merasa cemas akan nasib masa depan dan kesejahteraan mereka ,dengan adanya tindakan ini. Hal ini pun telah mengundang simpati dan keprihatinan sebagian masyarakat Indonesia, khususnya, Suku Melayu Perantauan, yang ikut merasakan kecemasan akan nasib saudara-saudaranya di kampung halamanya.

Baca Juga: Perolehan Medali Emas Asian Games 2022, Raih Emas Pertama Tapi Indonesia Masih Tempati Peringkat Kedelapan

Sementara itu, menurut Ereste, warga Pulau Rempang dan sekitarnya tidak menentang perihal adanya proyek pembangunan perusahaan asing di daerah Kepulauan itu, namun mereka tidak bersedia untuk dipindahkan keluar dari Kampung Tua yang mereka tempati. 

Sebab bagi mereka bukanlah hal yang mudah untuk menyiasati cara hidup di tempat yang baru, dan memulai kehidupan dengan nyaman, meski sebagian mereka hanyalah petani dan nelayan, dengan tanpa adanya ketersediaan lahan dan tempat yang layak dan nyaman bagi 10 ribu jiwa yang akan direlokasi," Demikian kata Ereste.

Meski Pemerintah Daerah menyatakan telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pembangunan Rempang Eco City, (REC) dan rencana relokasi semenjak April 2023, namun kenyataanya warga tidak siap ketika harus diperhadapkan dengan pengosongan dan pemindahan di waktu yang sempit itu. 

"Ijin untuk proyek pembangunan Rempang Eco City (REC) ini baru disahkan dan diterbitkan oleh Kementerian Bidang Perekonomian pada 28 Agustus 2023 melalui Peraturan Menko Bidang Perekonomian No7/2023, namun pengosongan sudah harus dilakukan pada akhir September 2023. Sebuah waktu yang teramat sempit untuk kepindahan warga dari tanah kelahiran mereka," Lanjut Ereste.

Disini ada beberapa hal yang kontradiktif dan perlu dilakukan klasifikasi dan ditangani dengan objektif karena terkait adanya benturan kepentingan antara warga yang tetap ingin pertahankan hidupnya yang dijamin konstitusi dan korporasi yang telah memperoleh alokasi lahan yang berpotensi menggusur tanah milik warga.

"Itulah sebabnya, akan lebih bijaksana bila mereka dialokasikan ke daerah Kampung Tua seperti yang pernah dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo, pada 6 April 2019, bahwa sertifikat lahan untuk penduduk Kampung Tua akan menjadi Prioritas dan diselesaikan setelah masa seratus hari pemerintahannya. Janji ini tidak kunjung dilaksanakan sampai akhirnya mereka mendapati kenyataan akan di relokasi dari tanah kepunyaan mereka sendiri. Hal ini menambah luka hati masyarakat hingga membuat mereka tetap bertahan di kampungnya," demikian tutur Ereste. 

Baca Juga: RAMALAN SHIO BESOK 26 September 2023! Babi, Ayam, dan Anjing Komunikasi Adalah Inti dari Hubungan

"Investor tidak dapat disalahkan, sebab penentu kebijakan adalah Pemerintah. Dan terkait hak-hak warga adalah kewajiban pemerintah. Yang menjadi pertanyaan, sungguhkah pemerintah membela hak dan kepentingan rakyatnya? Melindungi dan hak dan kehidupan rakyat sebagaimana amanah dalam Undang-undang dasar 1945 (UUD-45)?, lanjut Ereste.

Investasi senilai Rp.381 trilliun dengan kesiapan kapasitas tiga ratus ribu tenaga kerja merupakan 'iming-iming' yang menggiurkan bagi sebuah kemajuan ekonomi dan kesejahteraan, namun akan sangat relevan bila pekerja lokal (Penduduk Pribumi) di utamakan, sehingga hal itu dapat merubah dan memulihkan ekonomi rakyat setempat dan meningkatkan kesejahteraan masa depan mereka.

Sikap BP Batam yang seolah "lepas tangan" dan menyerahkan persoalan ini kepada Pemerintah Pusat tidaklah realistis. Teknis pelaksanaan dari hasrat untuk merelokasi warga Pulau Rempang sepenuhnya adalah tanggung jawab Pemerintah Daerah, dalam hal BP Batam.

Sejatinya pembangunan yang manusiawi tidak untuk menggusur rakyat dari tanah dan kampung mereka sendiri, yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sakral itu.

"Jadi, membangun yang manusiawi itu bukan hanya tidak boleh merusak, merugikan orang banyak, sebaliknya rakyat harus dilindungi dan berhak mendapatkan bagian dari pembangunan dan sumber dayanya. Membangun manusiawi tidak menyengsarakan rakyat" demikian kata Jacob Ereste.***

Editor: Yoga Mulyana

Tags

Terkini

Terpopuler