Ma’Badong: Sebuah Persembahan Tari dalam Upacara Adat Kematian dari Tanah Toraja

14 Februari 2023, 22:37 WIB
Ilustrasi Ma’Badong: Sebuah Persembahan Tari dalam Upacara Adat Kematian dari Tanah Toraja /Unsplash/Nicole/

JURNAL SOREANG - Toraja adalah salah satu etnis di daerah Sulawesi Selatan yang kehidupan masyarakatnya sarat dengan ritual-ritual adat warisan leluhur yang masih dilaksanakan hingga masa kini. Salah satu yang sangat terkenal di antaranya adalah upacara adat kematian yang dinamakan Rambu Solo.

Sesuai dengan namanya, upacara ini diadakan ketika lewat waktu tengah hari, yaitu pada saat matahari condong ke arah barat. Ritus persembahannya pun ditempatkan di sebelah barat tongkonan atau rumah adat Toraja.

Rambu solo adalah pesta adat kematian orang Toraja yang dimaksudkan untuk menghantarkan orang mati ke tempat peristirahatannya yang dikenal dengan nama puya atau alam arwah. Orang Toraja mempercayai bahwa akan adanya alam setelah dunia ini, yaitu tempat bersatunya roh mereka yang meninggal dengan leluhur mereka yang lain.

Baca Juga: Top! Kemendikbudristek Peroleh Predikat Sangat Baik dalam Pelaksanaan SPBE di Instansi Pusat Tahun 2022

Mereka juga percaya bahwa untuk sampai ke alam roh, orang mati memerlukan kendaraan. Adanya hewan kurban yang begitu banyak serta erong atau wadah jenazah orang Toraja yang berbentuk seperti perahu atau kerbau, menjadi simbolisasi akan hal ini.

Jenazah orang meninggal biasanya disimpan di dalam rumah, untuk menunggu hingga waktu diadakannya pesta adat rambu solo. Supaya jenazah yang disimpan tersebut tidak menimbulkan bau dan membusuk maka diberikan pengawet.

Pemberian pengawet ini dapat dilakukan dengan cara tradisional yakni dimulai dengan memandikan jenazah dengan rendaman daun-daunan, lalu menyapukan seluruh badannya dengan air teh pekat dan jenis daun tertentu. Cara yang paling gampang adalah dengan menyuntikkan formalin. Cara inilah yang banyak dilakukan saat sekarang. Bagi jenazah yang telah disuntik formalin dengan kadar yang tidak memadai, bau yang tidak sedap akan tetap tercium di dalam rumah yang bersangkutan.

Baca Juga: Selamat! 3 Zodiak Untung Rezeki Gede Efek Keberuntungan Akhir Februari 2023

Pelaksanaan upacara rambu solo menandakan telah sempurnanya proses kematian seseorang yang beretnis Toraja. Bagi mereka yang telah meninggal namun keluarganya belum melaksanakan ritual adat rambu solo maka orang yang telah meninggal tersebut belum dapat dikatakan meninggal, hanya dianggap sakit saja dan tetap disajikan hidangan sebagaimana biasanya.

Berlangsungnya upacara ini sangatlah bergantung pada kemampuan finansial dari keluarga yang ditinggal meninggal, disebabkan oleh biaya yang akan dikeluarkan dalam melakukan pesta memang sangatlah besar, terutama saat persiapan hewan kerbau dan babi yang akan dikurbankan.

Rangkaian kegiatan dalam pesta adat kematian ini diantaranya adalah mappalao (mengarak jenazah), mapasilaga tedong (adu kerbau), ma’sambanganongan (barisan tamu), ma’randina (tarian menyambut tamu), umbating (meratap), ma’pairu (menjamu tamu dengan minuman), dan ma’papangan (menyambut tamu). Pesta adat dapat berlangsung selama beberapa hari dan selama hari-hari tersebut dilakukan pula sebuah ritual yang berbentuk kesenian yaitu ma’badong.

Baca Juga: Rajab 2023:Termasuk Rangkaian Amalan Isra Miraj, Berikut 6 Ibadah yang Dianjurkan di 10 Hari Akhir Bulan Rajab

Ma’badong sebetulnya adalah puisi yang dinyanyikan secara beramai-ramai tanpa iringan musik dan bertujuan untuk menghibur keluarga yang ditinggal meninggal. Lirik dari nyanyian tersebut berupa syair-syair yang menceritakan perihal orang mati tersbut, baik perilakunya semasa hidupnya, kedudukkannya dalam keluarga apakahyang bersangkutansebagaianak, bapak, atau ibu, dan lain sebagainya. Lirik ini dapat pula berkisah mengenai kesedihan keluarga yang ditinggalkan.

Semua lirik diucapkan dalam bahasa Toraja, dan dinyanyikan secara halus sehingga kalimat yang disampaikan seringkali tidak ditangkap secara utuh. Nyanyian ma’badong dapat membangkitkan kenangan akan si mati sehingga membuat merekabersedih.

Ritual ma’badong telah dilakukan sejak dahulu, meski tidak diketahui secara pasti kapan awal mula pelaksanaannya. Jika kita mendasarkan data pada mulai dilaksanakannya sistem penguburan oleh orang Toraja, berarti kita sedang membicarakan Toraja sebagai sebuah masyarakat adat yang telah ada sejak masa neolitik.

Baca Juga: Tes Kepribadian : Pilih Satu Gambar yang Buat Anda Merasa Takut, Pilihanmu akan Menunjukkan Hal Ini

Masa tersebut merupakan saat dimana tradisi megalitik mulai berkembang, yaitu penggunaan batu-batu besar sebagai peralatan utama dalam beraktivitas sehari-hari dan dalam melakukan ritual-ritual pemujaan arwah. Hal ini dibuktikan dengan beragam penemuan-penemuan arkeologis di daerah Toraja seperti menhir, penggunaan wadah jenazah, dan juga liang (penguburan jenazah di dalam gua).

Berkembangnya agama Kristen di Toraja dimulai pada seabad yang lalu, tepatnya tahun 1913, yang diperkenalkan oleh seorang misionaris Belanda yang bernama A. A. van de Lostrect. Kemampuannya dalam mensosialisasikan agama mayoritas di Eropa ini, menyebabkan banyak orang Toraja yang dulunya menganut kepercayaan leluhur yang dikenal dengan sebutan Aluk Todolo bersedia mengganti kepercayaannya dengan agama Kristen Protestan.

Batong menjelaskan bahwa Suku Toraja dikenal mempunyai kebiasaan potong kepala, membunuh, tukang sihir, dan adanya perbudakan. Kabar yang menyeramkan membuat para penginjil berusaha semaksimal mungkin untuk bisa diterima penduduk setempat seperti mendirikan sekolah dengan menanamkan ajaran agama Kristen.

Baca Juga: Wajib Coba! Sensasi Makan Makanan Sunda di Tengah Sawah, Sayurannya Hidroponik Lho

Namun meskipun agama baru ini telah menjadi agama mayoritas di daerah Toraja, tidak serta merta mampu mengubah dan menggeser pandangan hidup masyarakat Toraja yang begitu lekat dengan kepercayaan leluhurnya. Agama-agama baru yang berkembang di daerah ini tetap berjalan berdampingan dengan kepercayaan Aluk Todolo.

Sebabnya ritual-ritual adat yang merupakan sisa dari kepercayaan masa lalu orang Toraja tetap bertahan dan masih dapat kita saksikan hingga saat sekarang. Salah satunya adalah ritual ma’badong yang masih tetap dilaksanakan meskipun orang Toraja yang telah meninggal akan dikubur secara Kristiani, termasuk keluarganya yang masih hidup telah memeluk agama Kristen.

Bagi masyarakat di perkotaan, melakukan ritual ma’badong dirasakan cukup sulit sehingga jarang kita temui. Masyarakat Toraja yang tinggal di tengah kota merasa takut untuk melaksanakan ritual ini, terutama kepada golongan fundamentalis yang tidak memiliki kepekaan dan tingkat toleransi yang tinggi ditakutkan dapat merusak pelaksanaan ritual adat mereka.

Baca Juga: Prediksi Reza Indragiri Soal Vonis Sambo Terbukti Benar, Bagaimana dengan Prediksi Vonis Bharada E?

Namun bagi mereka yang tinggal di wilayah pinggiran kota masih sering melakukannya, meskipun tidak diikuti upacara rambu solo, disebabkan pelaksanaannya haruslah di kampung halaman saja yaitu di Toraja, ritual ma’badong tetap dilakukan. Dengan berbekal halaman rumah yang cukup sempit atau menggunakan bagian jalan raya, ritual ini tetap dapat berlangsung khidmat dan sakral.***

 

 

Ikuti terus dan share informasi Anda di media sosial Google News Jurnal SoreangFB Page Jurnal SoreangYouTube Jurnal SoreangInstagram @jurnal.soreang, dan TikTok @jurnalsoreang

Editor: Josa Tambunan

Sumber: Berbagai sumber

Tags

Terkini

Terpopuler